The stats helper monkeys at WordPress.com mulled over how this blog did in 2010, and here’s a high level summary of its overall blog health:

Healthy blog!

The Blog-Health-o-Meter™ reads Fresher than ever.

Crunchy numbers

Featured image

A Boeing 747-400 passenger jet can hold 416 passengers. This blog was viewed about 6,800 times in 2010. That’s about 16 full 747s.

In 2010, there were 14 new posts, growing the total archive of this blog to 44 posts. There were 58 pictures uploaded, taking up a total of 37mb. That’s about a picture per week.

The busiest day of the year was January 4th with 92 views. The most popular post that day was Kumpulan Cerpen NoRiYu (sudah diterbitkan).

Where did they come from?

The top referring sites in 2010 were facebook.com, twitter.com, id.wikipedia.org, google.co.id, and search.conduit.com.

Some visitors came searching, mostly for nova riyanti yusuf, mumtaz rais, noriyu, budiono, and andi mallarangeng.

Attractions in 2010

These are the posts and pages that got the most views in 2010.

1

Kumpulan Cerpen NoRiYu (sudah diterbitkan) January 2009

2

Catatan Akhir Kampanye Jelang Pemilu Legislatif 9 April 2009 April 2009
6 comments

3

Butt-Naked by NoRiYu August 2008
8 comments

4

Debat tentang Sistem Kesehatan Nasional February 2009
3 comments

5

Undang Undang Kesehatan Jiwa, Kebutuhan yang Mendesak January 2009
1 comment

Menitipkan Ruh Kesehatan Jiwa dalam Panja MDGs

Oleh: dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ (Anggota DPR RI Komisi IX Fraksi Partai Demokrat)

Untuk pertama kalinya Badan Kerjasama Antar Parlemen DPR RI (BKSAP) membentuk sebuah Panitia Kerja (Panja) yaitu Panja MDGs. Panja ini memperkuat tingkatan kesadaran parlemen Indonesia dalam beragam upaya pencapaian MDGs atau tujuan pembangunan milenium. Selain itu, panja MDGs juga merupakan salah satu respon dari bentuk komitmen kuat semua pihak yang akan diikat dengan instruksi presiden dan kejelasan rencana aksi daerah berdasarkan pernyataan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat rapat koordinasi dengan gubernur se-Indonesia di Tampak Siring, Bali beberapa waktu lalu. Dalam raker tersebut disinggung bahwa ada tiga poin dari delapan target MDGs bisa tidak terpenuhi pada tahun 2015, mereka adalah angka kematian ibu melahirkan per 100.000 kelahiran hidup yang berkaitan erat dengan tujuan peningkatan kesehatan ibu, indikator pencegahan HIV/AIDS, serta perhitungan tutupan lahan yang terkait isu lingkungan hidup dan kehutanan.

Jika ada kesan bahwa upaya-upaya pencapaian target MDGs hanya berambisi untuk mencapai angka-angka indikator keberhasilan tepat pada waktunya, sebenarnya tidak perlu merasa risau. Setidaknya, banyak efek positif yang bisa terengkuh dengan tercapainya kedelapan target MDGs tersebut, dan sesuailah cita-cita bangsa kita ini untuk “selamat” secara nasional dan berjaya di kancah internasional. Hal ini merupakan win-win solution asalkan dalam upaya kita mencapai target MDGs kita tetap independen dan bebas dari lilitan hutang luar negeri atau istilahnya, gali lubang tutup lubang. Jelas kita tidak memerlukan keberhasilan internasional yang bersifat semu. Apalagi saat ini Komisi IX sedang bekerja keras menelurkan sebuah Rancangan Undang-undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BPJS) yang akan berujung pada tercapainya Universal Coverage 2014 demi pencapaian derajat kesehatan masyarakat Indonesia yang optimal dan hidup berkualitas.

Panja MDGs

Panja MDGS bisa dibilang masih dalam tahap awal dari rangkaian perjalanannya. Rangkakannya masih sebatas rapat internal peserta panja terkait visi-misi panja pada bulan April 2010 dan mendengarkan paparan-paparan dari Duta Besar MDGs pada bulan Mei 2010. Optimisme pun jadi terbangun bahwa tidak terlambat untuk menitipkan sebuah perkara baru yang kiranya dapat ikut memberikan sumbangsih dalam membantu mengurai permasalahan dari tidak tercapainya beberapa indikator keberhasilan dari MDGs. Walau tentu masih bisa dipatahkan sebagai hipotesis —bahwa isu baru perlu mewarnai upaya pencapaian MDGs— tetapi tidak ada salahnya mencoba mengingat bahwa MDGs itu sendiri cukup popular secara superfisial di kalangan urban namun belum tentu diketahui sama sekali di daerah-daerah pelosok Indonesia.

Untuk sekadar mengingatkan, MDGs adalah serangkaian tujuan untuk mengatasi kemiskinan dan menjamin hak asasi manusia, di mana diharapkan tujuan dari program ini dapat tercapai tahun 2015. Target MDGs yang dimaksud yaitu: 1. Menghapus kemiskinan dan kelaparan (Target 2015: mengurangi setengah dari penduduk dunia yang berpenghasilan kurang dari US$ 1 sehari dan  mengalami kelaparan), 2. Mencapai pendidikan dasar untuk semua (target 2015: memastikan bahwa setiap anak laki dan perempuan mendapatkan dan menyelesaikan tahap pendidikan dasar), 3. Mendorong kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan (target 2005 dan 2015: mengurangi perbedaan dan diskriminasi gender dalam pendidikan dasar dan menengah terutama untuk tahun 2005 dan untuk semua tingkatan pada tahun 2015), 4. Menurunkan angka kematian anak (target 2015: mengurangi tingkat kematian anak-anak usia di bawah 5 tahun hingga dua-pertiga), 5. Meningkatkan kesehatan ibu (target 2015: mengurangi rasio kematian ibu hingga 75% dalam proses melahirkan), 6. Memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya (menghentikan dan memulai pencegahan penyebaran HIV/AIDS dan gejala malaria dan penyakit berat lainnya), 7. Memastikan kelestarian lingkungan hidup, dan 8. Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.

Kesehatan Jiwa dan MDGs

Yang dimaksud dengan isu baru di atas adalah pentingnya menyelipkan roh kesehatan jiwa dalam panja MDGs. Hal ini bukan kesadaran parsial saja yang muncul dari parlemen, tetapi secara bersamaan Kementerian Kesehatan pun pernah mengirimkan jawaban tertulis pada Komisi IX DPR RI yang memaparkan tentang Kesehatan Jiwa dan MDGs. Beberapa target MDGs yang terkait dengan kesehatan jiwa diantaranya menghapus kemiskinan, mengurangi angka kematian anak, dan meningkatkan kesehatan ibu.

Ada hubungan sebab akibat antara faktor kemiskinan dan gangguan jiwa. Berdasarkan studi tentang faktor-faktor risiko untuk gangguan jiwa, terutama depresi dan gangguan kecemasan, hampir semua populasi secara konsisten menunjukkan bahwa orang-orang miskin dan terpinggirkan memiliki risiko lebih besar menderita gangguan jiwa. Sebaliknya gangguan jiwa  juga dapat memiskinkan orang karena lama terapi yang tidak jarang “pengobatan pemeliharaannya” mencapai seumur hidup, biaya terapi yang mahal, tidak tentu ditanggung oleh jaminan kesehatan, dan/atau kehilangan kesempatan kerja baik akibat gagalnya proses rehabilitasi pasca remisi atau pun karena stigma bahwa orang yang pernah menderiyta gangguan jiwa berat adalah sampah masyarakat sehingga tidak mampu lagi bekerja. Pemikiran yang sempit seperti ini seolah lupa bahwa pada saat kita melemparkan stigma “sampah masyarakat” maka kita meningkatkan beban ekonomi yang lebih berat pada negara. Tentu berbeda jika kita memberikan program rehabilitasi yang memadai sehingga seseorang dengan gangguan jiwa baik ringan, sedang, maupun berat dapat kembali berfungsi sosial dan pekerjaan di dalam masyarakat sehingga dapat memfasilitasi kondisi yang dibutuhkan untuk keluar dari kemiskinan.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mencari korelasi antara pertumbuhan bayi dengan ibu yang depresi. Beberapa penelitian di Asia Selatan menemukan bahwa terhambatnya pertumbuhkembangan pada bayi di bawah satu tahun, secara tidak langsung berkaitan dengan depresi pada ibu. Sebuah penelitian berdasarkan populasi studi kohort dari Pakistan telah menunjukkan bahwa bayi dari ibu yang mengalami depresi selama kehamilan dan pada periode setelah melahirkan (terkenal dengan istilah baby blues atau post-natal depression) memiliki risiko lima kali lebih besar untuk mengalami berat badan rendah dan terjadi gangguan perkembangan pada usia enam bulan jika dibandingkan dengan bayi-bayi dari ibu tidak depresi.

Benang merah akibat pun berlanjut sehingga diduga bahwa depresi pada ibu yang berakibat kegagalan tumbuh masa kanak merupakan faktor risiko meningkatnya angka mortalitas (kematian) anak. Dalam kondisi depresi (yang ditandai oleh trias depresi: mood depresif, kehilangan energi, dan kehilangan minat) maka seorang ibu tidak dapat melaksanakan tugasnya sebagai ibu secara optimal, misalnya berhenti menyusui. Studi ini juga menunjukkan bahwa depresi selama kehamilan itu sangat terkait dengan berat lahir rendah akibat asupan gizi ibu yang tidak mencukupi untuk ikut menutrisi janin yang dikandungnya.

Pemaparan di atas telah membahas panjang lebar tentang pengaruh kesehatan jiwa ibu terhadap anak, Sejumlah besar penelitian dari sebagian besar wilayah negara berkembang menunjukkan bahwa 10%-30% dari ibu akan menderita depresi. Depresi  berdampak terhadap anak seperti dipaparkan di atas dan jelas terhadap diri si ibu sendiri sehingga ia pun tidak dapat lagi mengurus dirinya sendiri, Ibu yang depresi juga enggan untuk melakukan pemeriksaan atau screening kesehatan mendasar ke pusat kesehatan. Depresi yang tidak terdiagnosis, apalagi yang disertai dengan suicidal tendency (baik ide maupun tindakan bunuh diri) menjadi penyebab utama kematian ibu di negara-negara maju. Data juga menunjukkan bahwa bunuh diri sekarang menjadi penyebab kematian pada perempuan muda dalam kelompok usia reproduksi di dunia yang paling padat penduduknya, yaitu India dan Cina.

Panja MDGs sebaiknya tidak menjadi panja ber-genre popular atau alih-alih menjadi forum diskusi nan akademis yang menghasilkan buku putih pemaparan dan rekomendasi yang normatif. Untuk berbeda, maka panja MDGs harus ada ketegasan regulasi disertai deklarasi ide baru yang menuansakan kegentingan sehingga dukungan anggaran pemerintah dalam percepatan pencapaian MDGs teraktualisasikan sungguh-sungguh. Fungsi pengawasan parlemen terhadap eksekutor untuk setia pada komitmen juga tidak kalah penting.

Melirik Kondisi kejiiwaan Anak Jalanan

Oleh: dr.Nova Riyanti Yusuf,SpKJ (Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi Partai Demokrat)

Perkara mendasar di tanah air tercinta Indonesia tampaknya belum mau kunjung surut. Masih segar dalam ingatan berbagai kasus terkait anak jalanan (anjal). Beberapa kasus terbaru yang “nampak” terkait dengan anak jalanan diantaranya adalah kasus Babeh dengan kelainan jiwa pedofilia yang memakan korban anak-anak jalanan dan juga bagaimana Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merutuki pihak yang bersalah melibatkan anak-anak dan menganiaya anak-anak sehingga sejumlah anak terluka dalam peristiwa bentrok makam Mbah Priok di Koja beberapa waktu silam. Penulis pun teringat pada pengalaman masa silam saat berpraktek sebagai calon dokter jiwa dan menangani kasus seorang perempuan dewasa dengan kasus gangguan jiwa Obsesif Kompulsif yang jika dirunut riwayatnya maka ia pernah mengalami pelecehan seksual oleh pamannya sendiri pada saat masih berusia 13 tahun.

Selain pihak anak banyak yang takut melaporkan peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya karena dirinya diancam dan orangtua beranggapan bahwa kasus seperti ini aib, sewajarnya juga seorang anak (seseorang dengan usia di bawah 18 tahun) yang masih belum berkembang sempurna secara psikoseksual, tidak memahami bahwa ia menjadi korban kekerasan seksual. Akibatnya kekerasan seksual terhadap anak merupakan sebuah fenomena gunung es. Berdasarkan informasi dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Sosial (2008), jumlah anak jalanan sebesar 232.984 jiwa. Jumlah tersebut cenderung meningkat bila dibandingkan tahun 2007 sebanyak 104.000 anak, dan tahun 2006 sebanyak 144.000 anak. Dari jumlah tersebut hanya 12% saja yang tertampung di rumah singgah. 50% anak jalanan tinggal bersama orangtuanya.

Data dari Yayasan Cinta Anak Bangsa juga menunjukkan bahwa jumlah anak terlantar di Indonesia ada sekitar 3,3 juta anak dan 160.000 diantaranya adalah anak jalanan. Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak, kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak sepanjang 2008 meningkat 30% menjadi 1.555 kasus atau 4,2 kasus per hari dari 1.194 kasus pada 2007. Menurut catatan Dinas Sosial DKI Jakarta sedikitnya ada 4.023 anak jalanan yang tersebar di 52 wilayah di Jakarta.

Per definisi, anak jalanan adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, namun masih memiliki hubungan dengan keluarganya. Sementara Kementerian Sosial RI mendefinisikan anak jalanan sebagai anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya.

Ada dua hipotesis kontradiktif tentang hal ikhwal keberadaan anak jalanan di jalanan; bahwa mereka berada di jalan karena memang menikmati berada di jalan atau karena mereka tidak punya pilihan lain. Walau pilihan kedua tampaknya menjadi mayoritas, namun adakalanya kita temukan ekspresi jiwa anak jalanan yang bermain musik dengan riang dan sepenuh hati, sehingga bisa dikatakan perasat semacam itu menyelamatkan mereka dari “kegilaan” karena getirnya hidup. Sejauh ini anak jalanan tidak bisa dikatakan berada di jalanan untuk “menikmati” hidup di jalanan yang keji tanpa fasilitas kecuali kerap mengonsumsi teratur vitamin berupa polusi udara dan suara, karena pada dasarnya mereka selalu menjadi korban.

Dengan begitu banyaknya dasar hukum penyelenggaraan perlindungan anak di Indonesia dan salah satunya yang utama adalah UU NO.23 tahun 2002 yang juga membahas tentang perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi, lantas kenapa jumlah anak jalanan bertambah? Dan kenapa pada praktiknya aksi-aksi penanganan anak jalanan masih dilakukan secara parsial, sektoral, dan terfragmentasi tanpa kesinambungan waktu yang cukup memadai untuk sebuah program dapat berjalan dan terpantau dengan evaluasi dari efektivitasnya?

Ilustrasi Kasus

Ranah kekerasan terhadap anak dapat terjadi di jalanan, tetapi juga dapat terjadi di dalam ranah keluarga yang notabene aman dan nyaman bagi anak. Di jalanan anak-anak dipaksa menjadi pengemis, pelacur anak, pekerja malam, dan lainnya. Untuk ruang keluarga, —seperti banyak dieksploitasi oleh sinetron kita, adalah contoh bagaimana anak dieksploitasi menjadi pekerja rumah tangga dan mengalami penganiayaan fisik juga psikis. Begitu juga kekerasan seksual terhadap anak yang tidak henti-hentinya terjadi, Babe alias Bahekuni (48 tahun) mengaku telah membunuh 8 anak jalanan, hampir semua dimutilasi setelah sebelumnya menjadi korban pedofilia. Kasus seperti ini menjadi repetisi dari sebuah kasus klasik yang sempat menjadi mimpi buruk, yaitu kekejaman Robot Gedek pada pertengahan tahun sembilan puluhan. Dan untuk melengkapi ironi dan tragedi dari kebengisan Robot Gedek, tentu semua korbannya adalah anak jalanan yang sepertinya memang identik dengan penderitaan.

Anak korban pedofilia dapat mengalami gangguan fisik dan mental. Bila kejadian tersebut disertai paksaan dan kekerasan maka tingkat trauma psikologis yang ditimbulkan lebih berat bahkan sampai usia dewasa akan sulit dihilangkan. Gangguan kejiwaan dan berbagai kelainan psikopatologis lainnya juga tidak terelakkan. Dikatakan bahwa gangguan pedofilia yang dialami Babe diawali oleh kejadian dirinya menjadi korban pedofilia di usia remaja. Secara ideal, tentu kita berharap korban pedofilia dilaporkan. Jika saja korban pedofilia tersebut terlaporkan atau nyawanya tidak melayang, maka pendekatan terapi sejak dini harus segera dilakukan.

Masih banyak lagi ragam kondisi kejiwaan yang bisa dialami oleh anak jalanan yang kadarnya dianggap di atas sekadar juvenile delinquency (kenakalan remaja), seperti penyalahggunaan zat dengan bahaya letal, gangguan emosi dan perilaku, gangguan afektif seperti depresi, kepribadian antisosial, perilaku impulsif, dan lain-lain. Namun cukup dengan menelaah satu kasus Babe saja, kita dapat membayangkan betapa berbedanya cara hidup anak pada umumnya dan anak jalanan. Anak-anak yang pada umumnya dapat hidup nyaman dan tentram dalam lingkungan keluarga (nature) dengan pola asuh (nurture) yang baik untuk anak, sementara anak jalanan bertanggungjawab atas tubuh dan dirinya secara utuh. Mereka wajib kebal terhadap risiko atas kekerasan hidup dan pekerjaan fisik yang tidak terbayangkan dapat diterima oleh anak seusianya. Seolah-olah mereka hidup dengan menggantungkan panjang usia hidupnya pada proses seleksi alam.

Metode terapeutik

Berbagai program telah diciptakan untuk menangani anak jalanan. Ditjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI memiliki program Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) dengan salah satu sasaran yaitu anak jalanan. Bulan April 2010 lalu juga dikatakan bahwa Kementerian Sosial berencana memberikan bantuan tunai bersyarat yang besarnya antara Rp 900 ribu sampai dengan Rp 1,8 juta per anak, per tahun. Penyaluran bantuan tunai itu akan disalurkan melalui lembaga sosial anak yang ditunjuk pemerintah dan harus digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar anak jalanan serta meningkatkan akses mereka ke sarana pelayanan sosial dasar seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan.

Tetapi jangan diabaikan bahwa jika jiwanya sudah rapuh, maka tidak mudah untuk mempenetrasi anak jalanan untuk mau belajar dan peduli dengan kesehatan. Pada shelter ataupun KLA (program Kota Layak Anak) sebagai bagian dari upaya Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, perlu diselipkan metode terapeutik seperti Community Intervention Strategies yang ditujukan untuk memperkuat kemampuan dari komunitas untuk meningkatkan perilaku yang pro-sosial dan mengurangi sikap antisosial dan kenakalan remaja. Caranya dengan mengkombinasikan case management komunitas yang agresif, pendekatan keluarga secara intensif, dan pembentukan pola perilaku yang spesifik untuk mengurangi kriminalitas, kedekatan dengan teman sepergaulan yang menyimpang, penyalahgunaan zat, dan lain sebagainya. Metode ini tampaknya mempunyai dampak jangka panjang yang paling efektif terhadap perilaku remaja, terutama anak jalanan sehingga keluar dari kubangan rasa ketidakberdayaan atau learned helplessness. Anak jalanan bukan pesakitan dan tidak boleh distigma sakit jiwa, tetapi menghitung logika beban jiwa yang harus mereka hadapi maka mereka berhak untuk terganggu jiwanya.

Setelah menjadi narasumber, maka saya yakini bahwa acara UNS Blogfest 1.0 masuk dalam kategori keren karena acaranya fokus, terarah, dan pesertanya serius-serius. Sudah diuji sama MC/moderator Aan, ternyata tetap tidak ada penyusup yang anti-blogging. Semuanya setuju bahwa blogging itu penting. Jika slogan @ndorokakung sebagai pakar blogger bahwa nge-blog harus dengan hati, dan juga sebagai mekanisme “menyimpan memori”, maka saya juga ingin blogging menjadi sebuah proses positif dan bukannya malah negatif (diculik, ditipu, dipojokkan, dan lain-lain). Menjadikan blogging sebagai mekanisme katarsis atau pelepasan energi negatif dengan cara yang tetap terjaga positif tentunya sangat baik dampaknya.

Satu hal yang saya ingin sosialisasikan -baik pada acara UNS blogfest maupun Pesta Blogger di Jakarta tahun lalu- adalah bahwa melalui blogging, baik microblogging seperti twitter, merupakan sebuah sarana untuk lebih sensitif terhadap kondisi kejiwaan bangsa Indonesia. Bukan berarti saya men-stigma sakit jiwa, saya hanya mengajak para peserta blogfest untuk membuka mata bahwa kasus kejiwaan sangat banyak dan yang paling hardcore adalah bunuh diri dengan melompat dari gedung-gedung tinggi. Saya pribadi secara tidak sengaja bertemu dengan kasus depresi, skizofrenia paranoid, tendensi ingin bunuh diri,  dan lain-lain sebagainya, baik melalui facebook atau pun twitter.

Bukan berarti kita men-stigma mereka yang “terjaring” tetapi justru karena program dan anggaran untuk program Promotif dan Preventif Kesehatan Jiwa dari Direktorat Kesehatan Jiwa belum jelas wujudnya, maka tidak ada salahnya untuk masyarakat (terutama bloggers) ikut berperan aktif untuk melakukan program preventif (pencegahan) dan promotif (peningkatan) kesehatan jiwa.

Misalnya pada pasien depresi berat dengan ide bunuh diri, maka tidak jarang ia akan menunjukkan warning sign atau petunjuk awal bahwa ia ingin bunuh diri. Trias depresi itu sendiri dilihat dari perasaan (menurun, depresif), pikiran (pesimis, merasa bersalah), dan perilaku (kehilangan minat untuk bersenang-senang, energi menurun). Ketiga hal tersebut bisa terekspresikan melalui status dalam facebook atau twitter.

Tugas saya sebagai narasumber selesai, dengan menjadikan pengalaman blogging saya yang saya juduli “repressed blogger” sebagai contoh dari evolusi motivasi seseorang menjadi blogger. Namun seperti apa yang dikatakan Smashing Pumpkins: …the end is the beginning is the end… Selamat nge-blog!!! UNS Blogfest…Lanjutkan!


[Dimuat tanggal 3 Mei 2010, di koran SINDO halaman 7]

Tanggal 2 Mei adalah hari peringatan pendidikan nasional yang nampaknya pada tahun 2010 ini sebaiknya kita menunda dulu unsur perayaan dan kebanggaan di dalamnya.

Baru seminggu berlalu sejak Komisi IX DPR RI mengadakan rapat kerja (raker) dengan Kementerian Kesehatan —yang dihadiri oleh ibu Menteri Kesehatan, dan Kementerian Pendidikan Nasional —yang dihadiri oleh bapak Wakil Menteri. Rapat kerja yang berlangsung selama 6 jam tersebut berakhir dengan disepakati bersama sebuah rekomendasi penting yaitu dibentuknya Panitia Kerja (panja) Sistem Pendidikan Kedokteran untuk menyelesaikan hal-hal yang belum terselesaikan pada rapat kerja tersebut. Panja ini harus mampu menggodok sebuah formulasi terbaik dari segala urusan terkait sistem pendidikan kedokteran, termasuk evaluasi Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI), pengembangan Rumah Sakit Pendidikan, pengembangan sistem akreditasi, penyejahteraan tenaga pendidik, dan lain-lain.

Panja yang digagas Komisi IX DPR RI —yang berangkat dengan spirit meningkatkan kualitas dokter lulusan Indonesia sehingga derajat kesehatan rakyat Indonesia ikut meningkat— rupanya sejalan dengan Panja yang telah terlebih dahulu dijalankan oleh Komisi X DPR RI, yatu Panitia Kerja (Panja) Ujian Nasional (UN) dan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) pada bulan Januari silam dan akan dilanjutkan dengan evaluasi hasil UN bulan Mei ini. Pentingnya evaluasi hasil UN ini terkait dengan keterkejutan bangsa, seperti dlansir Kompas pada tanggal 27 April 2010 bahwa persentase tingkat kelulusan ujian nasional tahun ini sebesar 89,61% sedangkan pada 2009 mencapai 95,05%. Belum lagi dengan berita Kompas keeseokan harinya, bahwa terdapat 267 SMA/MK/SMK yang terdiri atas 51 sekolah negeri dan 216 sekolah swasta, 100 persen siswanya tidak lulus ujian nasional 2010. Berita-berita tersebut juga menampilkan betapa tidak meratanya distribusi kualitas pendidikan di Indonesia dengan persentase kelulusan ujian nasional terendah di Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar 47.50%.

Inkonsistensi

Seorang dokter yang baru menyelesaikan pendidikan dokternya, harus melewati tahap Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) sebagai syarat mutlak untuk registrasi dan memperoleh Surat Ijin Praktek sedangkan sistem pendidikan dokter Indonesia sudah berbasis kompetensi dan standarisasi seluruh fakultas kedokteran mengacu pada KIPDI III (Kurikulum Pendidikan Dokter Indonesia III) yang telah disepakati semua stakeholders. UKDI ini sesuai dengan amanat UU No.29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran Indonesia. Namun amanat yang satu ini masih belum terejawantahkan dengan tepat sehingga 1500 dokter umum masih belum bisa segera praktek dan terjun ke masyarakat karena belum lulus UKDI. Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) sebagai pengemban amanat yang salah satu tugasnya mengurusi registrasi dan perijinan dokter pun ikut menjadi momok dan dipertanyakan transparansinya oleh para dokter. Situasi tuduh-menuduh seperti ini jelas tidak enak dan tidak menguntungkan pihak manapun, terutama malah merugikan masyarakat Indonesia yang sangat urgen membutuhkan ketersediaan jasa dokter.

Sebuah fakta bahwa pada beberapa tahun yang lalu sistem ujian negara untuk fakultas kedokteran swasta dihapuskan, diimbangi dengan sistem akreditasi A-B-C untuk pendidikan dokter dengan harapan kelulusan dokter tidak mengulur waktu dengan kualitas tetap terjaga baik sehingga akan terjadi pemerataan dokter yang mengabdi di daerah karena kebutuhan dokter di daerah terus meningkat. Karena sesuai paparan ibu Menteri Kesehatan pada kesempatan raker, bahwa kebutuhan tenaga dokter dan dokter spesialis cukup besar dan pemenuhannya masih jauh dari kebutuhan. Data tahun 2008 kebutuhan dokter di 8.234 Puskesmas untuk 33 propinsi sebanyak 13.958 orang dan tersedia sebanyak 11.865 orang, jadi masih mengalami kekurangan sebanyak 2.093 orang (15%), sedangkan untuk kebutuhan dokter di 546 Rumah Sakit Pemerintah sebanyak 13.338 orang dan tersedia 10.963, masih mengalami kekurangan sebanyak 2.375 orang (18%), sedangkan kebutuhan dokter spesialis sebanyak 12.007 orang, yang tersedia sebanyak 7.846 sehingga masih terdapat kekurangan sebanyak 4.161. orang (35%).

Konsep Ujian

Salah satu kerangka pikiran dari Fraksi Partai Demokrat tentang pembentukan Panja UN dan Dapodik yang sempat penulis baca adalah berdasarkan pada apa yang tersurat dalam Undang-undang Dasar tahun 1945, bahwa pemerintah diamanatkan untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bahwa kegiatan evaluasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembelajaran hidup manusia yang harus dijadikan budaya positif oleh seluruh masyarakat Indonesia, untuk membangun moralitas bangsa yang lebih baik.

Namun dengan kontroversi hasil UN maupun UKDI, yang memakan korban “tidak lulus” cukup banyak, maka wajar saja jika pada akhirnya peserta didik Indonesia mampir pada sebuah pemikiran bahwa ujian mengurung manusia dalam suasana psikologis yang penuh teror dan mebumbuhsuburkan keyakinan patologis bahwa saya ini benar-benar tidak akan bisa. Artinya, kata ujian menjadi sebuah microchip yang sekonyong-konyong tertanam pada regio pusat kognisi manusia di otak. Suasana psikologis di atas memang murni nyata terjadi pada siapa pun pada saat menghadapi ujian, apalagi jika tidak dibarengi dengan persiapan matang untuk mengasah kognisi disertai dengan program untuk memelihara afeksi agar tenang.

Terjadi sebuah diskrepansi antara niatan dari konsep evaluasi pendidikan sebagai kegiatan pengendali, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk akuntabilitas pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan, dengan teror psikologis yang melanda para peserta didik pra, saat, dan pasca ujian. Berangkat dari pemahaman demikian, maka untuk para peserta didik yang akan menjalankan Ujian Nasional ulang, motivasi dan mindset tentang konsep ujian tidak semudah itu didekonstruksikan. Setelah hasil ujian nasional SMA sederajat diumumkan pada tanggal 24 April 2010, sejumlah sekolah langsung memanggil siswa yang tidak lulus untuk diberi pengarahan dan jadwal ujian ulang pada 10-14 mei 2010. Sekolah-sekolah pun langsung menyiapkan jadwal pendalaman materi bagi siswa.

Melihat ketergesa-gesaan dalam proses penyelengggaraan Ujian Nasional ulang, seolah lupa diri bahwa setelah sebuah kegagalan —yang dimaknai para peserta didik sebagai bencana katastrofik— maka dibutuhkan periode waktu pemulihan yang beragam, yaitu keluar dari rasa syok dan malu, dilanjutkan dengan reparasi kepercayaan diri dengan aplikasi pendekatan yang mungkin berbeda bagi setiap peserta didik, baru mereka siap untuk membuka buku lagi untuk belajar. Akibat ketergesa-gesaan ini, bukan hanya peserta didik yang akan menghadapi ujian nasional ulang yang mentalnya teruji, tetapi juga guru (tidak hanya spesifik guru BP), sekolah, dan keluarga menjadi ujung tombak pemulihan kepercayaan diri instan dari para siswa yang terlanjur “merasa gagal” pada UN pertama. Dekonstruksi makna ujian berupa sebuah keyakinan bahwa ternyata ujian yang sebenarnya bukan di ruangan ujian yang tertutup, privat, dan mengijinkan kita menjadi pengutip sejati buku-buku referensi. Ruang ujian hanyalah transisi untuk menghadapi ruang ujian yang sebenarnya, realita hidup. Seperti dialog yang terjadi dalam film Good Will Hunting antara Clark dan Will (diperankan Matt Damon), di mana Will dengan IQ-nya yang jenius serta-merta mengejek si Clark bahwa gengsi memperoleh ijazah di universitas terprestise tidak menjadi jaminan kalau jiwa ini tidak kuat menghadapi tantangan hidup dan pemikiran kita tidak terpelihara orisinil.

Peran Sakral Panja

Dengan dibentuknya kedua panja terkait sistem pendidikan nasional Indonesia, yaitu Panja Ujian Nasional dan Dapodik yang dibentuk oleh Komisi X DPR RI, dan Panja Sistem Pendidikan Kedokteran yang dibentuk oleh Komisi IX DPR RI, maka diharapkan tercapai sebuah analisis komprehensif sehingga rekomendasi yang dihasilkan oleh DPR RI akan membantu terbentuknya sebuah pemahaman bagi para stakeholders tentang bentuk upaya integratif untuk memecah keruwetan dan inkonsistensi dari sistem pendidikan nasional di Indonesia.

Selain para stakeholders berbenah diri untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional pada umumnya dan sistem pendidikan kedokteran pada khususnya, maka beban besar juga ikut diemban oleh kedua panja, Tidak hanya berat, tetapi juga sakral karena menyangkut masa depan generasi penerus bangsa yang diharapkan tidak semakin apatis terhadap sistem apa pun yang berlaku di negara tercinta ini.

*Opini halaman 6 koran SINDO, dimuat pada hari Kartini, 21 April 2010.

Peringatan hari Kartini perlu dicerahkan dengan menggunakan perspektif baru dalam meneropong permasalahan perempuan disesuaikan dengan perkembangan jaman. Kondisi perempuan telah ditelaah dengan berbagai uji peran yang berujung pada lagi-lagi ketidakadilan politis dan kalkulatif atas optimalisasi peran perempuan.

Dalam upaya untuk tidak terjebak dalam ranah-ranah yang sudah “becek” dikubangi oleh isu perempuan, maka satu aspek tidak boleh luput dari perhatian, yaitu kesehatan jiwa perempuan. Topik penting ini merupakan sebuah bentuk pencerahan bagi kehidupan bernegara dengan perspektif jender berbeda. Apalagi pencerahan itu dimulainya dengan membicarakan sesuatu, dan dilanjutkan dengan lebih sering lagi membicarakan topik tersebut.

Pada Masa Sidang II bulan Januari 2010, Komisi IX DPR RI memberikan teguran konstruktif dalam agenda Rapat Kerja dengan ibu Menteri Kesehatan Repulik Indonesia terkait embusan berita tidak sedap bahwa Direktorat Kesehatan Jiwa akan dibubarkan. Namun dalam perdebatan yang tetap terjaga etis, Komisi IX DPR RI bersama-sama ibu Menteri Kesehatan memikirkan sebuah ide baru “memasarkan” kesehatan jiwa secara lebih inovatif dan proaktif dengan mengedepankan sebuah prinsip integratif pelayanan kesehatan jiwa secara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Sejauh ini, fasilitas, anggaran, dan pelayanan kesehatan jiwa masih bersifat kuratif dan untung-untung bisa rehabilitatif.

Sinyal baik dari Kementerian Kesehatan sehingga urung meniadakan Direktorat Kesehatan Jiwa, sejalan dengan Komisi IX DPR RI yang telah terlebih dahulu menggunakan Hak Inisiatifnya mengusulkan Undang-undang Kesehatan Jiwa dan RUU Keswa ini sudah disetujui oleh Badan Legislasi DPR RI masuk dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) 2009-2014.

Status Kesehatan Jiwa

Sebelum bisa memahami tentang gangguan jiwa, maka makna kesehatan jiwa itu sendiri perlu disosialisasikan dalam definisinya yang paling sederhana. Kesehatan Jiwa adalah perasaan sehat dan bahagia serta mampu menghadapi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya dan mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain.

Namun dengan kondisi krisis berkepanjangan, bencana alam, bencana akibat tindakan manusia (terorisme), dan problem psikososial tak berkesudahan menyebabkan bangsa Indonesia semakin tertantang untuk menjaga level kesehatan jiwanya. Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan bahwa gangguan mental emosional (depresi dan kecemasan) dialami oleh sekitar 11,6% populasi usia di atas 15 tahun (sekitar 24.708.000 orang). Sedangkan sekitar 0,48% populasi (1.065.000 orang) mengalami gangguan jiwa berat (psikosis).

Gangguan mental berupa depresi, kecemasan, dan keluhan somatik didominasi perempuan dengan angka sekitar 1 dari 3 orang dalam masyarakat dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Unipolar depresi diperkirakan menjadi penyebab utama kedua beban kecacatan global pada tahun 2020 dimana angka kejadian dua kali lebih sering terjadi pada perempuan.

Prevalensi seumur hidup kekerasan terhadap perempuan berkisar dari 16% hingga 50%. Setidaknya satu dari lima perempuan mengalami perkosaan atau percobaan perkosaan dalam hidup mereka. Diperkirakan 80% dari 50 juta orang yang terkena konflik kekerasan, perang saudara, bencana, dan perpindahan adalah perempuan dan anak-anak. Akibat tingginya prevalensi kekerasan seksual pada perempuan juga menjadi risiko tingginya Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

Gangguan jiwa juga mengakibatkan disabilitas yang akan mempengaruhi indeks pembangunan manusia atau Human Development Index (HDI) dan kemampuan daya saing bangsa Indonesia. Sekretariat Negara menyebutkan bahwa Indeks Daya Saing Indonesia tahun 2007 berada di peringkat 5 dan Indeks Pembangunan Manusia berada di peringkat 6 dari 10 negara ASEAN. Data lain dari Global Competitive Rate (GCR) yang dihitung dan dianalisis oleh World Economic Forum bekerjasama dengan berbagai organisasi lokal di masing-masing negara, melaksanakan survei selama 2 tahun pada 134 negara di dunia menampilkan performa Indonesia, di tahun 2008-2009 ada pada peringkat ke-55, turun satu peringkat dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi ini menunjukkan secara nyata kebutuhan masyarakat akan upaya peningkatan kesehatan jiwa tidak bisa lagi ditunda.

Kesehatan Jiwa dan MDGs

Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan kementerian dan departemen terkait sedang dalam proses serius mencapai target-target MDGs 2015. Ada beberapa bukti yang mengaitkan kesehatan jiwa dengan tiga target MDGs dan salah satunya adalah target MDGs ke-5, yaitu meningkatkan kesehatan ibu. Salah satu problem yang paling umum mempengaruhi masalah kesehatan ibu selama kehamilan dan setelah melahirkan adalah depresi. Sejumlah besar penelitian dari sebagian besar wilayah negara berkembang menunjukkan bahwa 10%-30% dari ibu akan menderita depresi. Ibu depresi kehilangan kemampuan untuk mengurus kebutuhan mereka sendiri. Bunuh diri pun menjadi penyebab utama kematian ibu di negara-negara maju. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa depresi pada ibu juga dapat menyebabkan peningkatan angka kematian ibu, baik melalui dampak negatif terhadap kesehatan fisik atau bersifat direk melalui bunuh diri.

Peran Eksekutif dan Legislatif

Kesadaran tentang pentingnya kesehatan jiwa seperti gayung bersambut antara eksekutif dan legislatif. Namun kelanggengan dari pemeliharaan kesadaran untuk menjadikan kesehatan jiwa sebagai prioritas pembangunan merupakan bagian tersulit. Direktorat Kesehatan Jiwa yang telah berhasil keluar dari ancaman “ketiadaan” harus sungguh-sungguh berperan aktif merombak sistem kesehatan jiwa nasional dengan ide-ide brilian dan meyakinkan. Beragam stigma tentang gangguan jiwa dan terlanggarnya hak asasi manusia dalam konteks gangguan jiwa —hak mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa, diterima baik dan layak oleh masyarakat, dan parameter lainnya— perlu terus diantisipasi dan diperangi sehingga semua upaya pelayanan (baik berbasis rumah sakit atau pun komunitas) yang diberikan harus dapat menjamin terjaganya dan dihormatinya hak asasi manusia. Pelayanan optimal dan humanis harus mencerminkan keberpihakan pada rakyat karena rakyat mempunyai hak untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya tanpa membedakan sakit fisik atau sakit jiwa.

Undang-undang No.23 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah mencakup tujuh pasal tentang kesehatan jiwa (Bab IX, pasal 144-151) namun dirasakan masih kurang mengakomodir elemen-elemen yang telah dijabarkan di atas. Tidak ada kesehatan tanpa kesehatan jiwa, masa Rancangan Undang-undang Kesehatan Jiwa wajib segera dilegislasikan oleh Komisi IX DPR RI sebagai perangkat perekat kolaborasi lintas sektor yang memungkinkan untuk tercapainya kesehatan jiwa bangsa Indonesia pada umumnya, dan kesehatan jiwa perempuan pada khususnya.

DELEGASI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

KE

THE 122ND ASSEMBLY OF THE INTER-PARLIAMENTARY UNION (IPU)

AND RELATED MEETINGS

BANGKOK-THAILAND

26 MARET-2 APRIL 2010

Pada tanggal 27 Maret s/d 1 April 2010 Delegasi DPR RI telah menghadiri the 122nd Assembly of the Inter-Parliamentary Union (IPU) and its related meetings di Bangkok, Thailand. Sidang Umum ke-122 IPU ini dihadiri oleh 124 negara anggota, 2 negara peninjau, dan 6 associate members. Sidang dipimpin oleh Ketua Parlemen Thailand, Hon.Chai Chidchob, dan dibuka secara resmi oleh Her Royal Highness Princess Maha Chakri Sirindhorn pada tanggal 27 Maret 2010.

Delegasi DPR RI terdiri dari:

1)      Dr.M.Hidayat Nur Wahid, MA/Fraksi PKS/Komisi I (Ketua Delegasi)

2)      Dr.Nurhayati Ali Assegaf,M.Si/Fraksi Partai Demokrat/Komisi I (Anggota Delegasi)

3)      Ir.H.Azam Azman Natawijana/Fraksi Partai Demokrat/Komisi VI (Anggota Delegasi)

4)      Drs.Enggartiasto Lukita/Fraksi Partai Golkar/Komisi I (Anggota Delegasi)

5) dr.Nova Riyanti Yusuf,SpKJ/Fraksi Partai Demokrat/Komisi IX (Anggota Delegasi)

6)      Drs.Helmy Fauzi/Fraksi PDIP/Komisi I (Anggota Delegasi)

7)      Syarif Bastaman/Fraksi PDIP/Komisi VII (Anggota Delegasi)

8)      Andi Azhar Cakra Wijaya,SH/Fraksi PAN/Komisi III (Anggota Delegasi)

9)      Luthfi Hasan Ishaaq,MA/Fraksi PKS/Komisi I (Anggota Delegasi)

Misi Delegasi:

  1. BKSAP menargetkan agar Indonesia dapat menduduki sejumlah posisi yang tersedia di IPU.
  2. Memasukkan kepentingan dan kontribusi Indonesia dalam hasil akhir sidang, yaitu dalam resolusi.
  3. Menjalin networking dengan delegasi parlemen yang hadir di sidang IPU.
  4. Menggalang dukungan kepada delegasi parlemen di IPU untuk mendesak Israel agar menghentikan perluasan pemukiman dai Yerusalem Timur dan mengecam  agresi mereka terhadap rakyat Palestina.

Jalannya persidangan:

Sidang Umum ke-122 IPU telah membahas sejumlah agenda dan isu yang pembahasannya dilaksanakan melalui:

–          Assembly, berisikan general debate dengan tema utama “Parliament at the heart of political reconciliation and good governance”.

–          Governing Council, membahas masalah keorganisasian.

–          1st Standing Committee (Peace and International Security) berisikan penyampaian pernyataan dan pembahasan rancangan resolusi.

–          2nd Standing Committee (Sustainable Development, Finance, and Trade) berisikan penyampaian pernyataan dan pembahasan rancangan resolusi.

–          3rd Standing Committee (Democracy and Human Rights), berisikan penyampaian pernyataan dan pembahasan rancangan resolusi.

–          23rd Meeting of Women Parliamentarians, berisikan debat mengenai:

  • Trafficking of women (group discussion)
  • The role of women in combating drug trafficking (group discussion)
  • Combating violence against women, with a particular focus on women held in places of detention and imprisonment
  • Women in politics (debate)

Saya ditugaskan pada:

3rd Standing Committee (Democracy and Human Rights) di mana di sini ditekankan pada Youth Participation.

23rd Meeting of Women Parliamentarians

  1. Dalam 3rd Standing Committee (Democracy and Human Rights), Delegasi DPR RI menekankan pentingnya partisipasi pemuda dalam proses demokrasi diantaranya dengan pendidikan politik dan interaksi antara pemuda dengan para pelaku politik. Indonesia mendukung resolusi PBB World Program of Action for Youth, yang berisi himbauan keterlibatan pemuda dalam proses pembuatan keputusan.

Delegasi DPR RI juga menyampaikan pentingnya institusi kawasan untuk mendorong kerjasama dalam rangka peningkatan keterlibatan kepemudaan dalam proses demokrasi, seperti Institute for Peace and Democracy yang didirikan untuk mengimplementasikan kesepakatan pada Bali Democracy Forum sebagai inisiatif Indonesia. Selain itu, sebagai bagian dari penanaman nilai-nilai demokrasi yaitu toleransi, Delegasi DPR RI menyampaikan bahwa hal tersebut telah dilakukan Indonesia dengan penyelenggaraan dialog lintas agama baik pada tingkat bilateral maupun regional, yang juga melibatkan para pemuda.

Delegasi DPR RI juga memandang penting pembentukan sebuah forum atau kaukus khusus pemuda di IPU di mana para anggota parlemen dapat membahas isu-isu yang terkait dengan kepemudaan. Usulan tersebut berhasil dijadikan suatu paragraf operatif Resolution on Youth Participation in the Democratic Process.

Secara personal, saya terkesan dengan kecerdasan dan kedewasaan emosionalitas anggota DPR dari Norway yang masih berusia 20 tahun. Suaranya lantang dan tegas, pada saat berdebat ia mampu menggunakan tatanan kalimat yang rapi, santun, tetapi berlogika tajam, Berkaca pada perempuan 20 tahun ini, maka saya dan Andi Azhar yang bertugas di komite ini, menyadari apabila akan dibentuk Kaukus, maka batas usia 16-26 tahun sangatlah tidak mungkin bagi Indonesia. Andi Azhar mengajukan untuk perluasan jangkauan usia antara 16-40 tahun mengingat DPR RI belum mempunyai legislator muda mumpuni pada rentang usia tersebut.

Saya ikut  memprotes salah satu paragraf resolusi yang terkait dengan penurunan usia pemilih dan caleg (calon legislatif). Penurunan usia pemilih dalam rangka meningkatkan partisipasi aktif pemuda jangan sampai overlapping dengan batas usia “anak-anak”, karena rasanya kami beranggapan bahwa membuat variatif metode pemilu yang justru lebih penting untuk meningkatkan partisipasi. Misalnya dengan cara memilih melalui internet atau e-voting. Ide ini juga disampaikan oleh Delegasi dari Kanada. Sedangkan semakin mudanya usia caleg (calon legislatif), tidak bisa menjadi patokan, karena berbagai kriteria lain juga patut dipenuhi seperti tingkat pendidikan dan latar belakang pengalaman sosial di masyarakat (logika linear karena konsekuensi menjadi wakil rakyat akan berbakti pada masyarakat).

Catatan: pernyataan DPR RI yang saya bacakan terkait dengan komite ini tersedia di part II.

  1. Dalam pertemuan 23rd Coordinating Committee of Women Parliamentarians, yang dihadiri oleh 200 anggota parlemen perempuan dari 120 negara, Delegasi DPR RI menyampaikan kinerja parlemen Indonesia lima tahun terakhir (2005-2010) dalam implementasi Convention on the elimination of all forms of discrimination against women. Sebagai ilustrasi disampaikan beberapa produk legislasi antara lain UU No.2 tahun 2007 yang mengamanatkan komposisi caleg (calon legislatif) minimal 30% wanita, UU No.28 tahun 2008 yang mengamanatkan komposisi kepengurusan partai politik minimal 30 % wanita. Keterwakilan perempuan secara signifikan di dalam politik ditujukan selain aspek pemberdayaan juga dimaksudkan agar produk-produk perundang-undangan dapat lebih pro kesetaraan gender.

Mengingat trafficking bersifat lintas negara, parlemen anggota IPU perlu mendorong pemerintah masing-masing membuat kesepakatan kerjasama antara negara pengirim dan negara tujuan para pekerja migran untuk melindungi hak-hak pekerja migran perempuan yang menjadi korban trafficking. Dalam kaitan ini, diperlukan komitmen dan efektivitas kerjasama tersebut ditimbang dari aspek hukum, aspek fisik, dan psikologis para korban trafficking.

Pertemuan telah mengadopsi Declaration to Combat Violence against Women. Di tengah pertemuan berlangsung, hadir Her Royal Highness Putri Bajrakitiyabha yang menyampaikan Keynote Address dengan judul Combatting Violence against Women, with Particular Emphasis on Women held in Places of Detention and Imprisonment.

Saya juga berterimakasih dengan dua orang jurnalis di Woman Parliamentarians; Karin Alfredson dari Sweden dan Lekha J.Shankar dari Thailand yang menyempatkan diri mewawancarai tentang perempuan dan politik di Indonesia. Mudah-mudahan hasil wawancaranya bisa saya akses.

Catatan: pernyataan DPR RI yang saya bacakan terkait dengan komite ini tersedia di part II.

Statement by the Indonesian Delegation

At the 3rd Standing Committee, on Youth Participation in the Democratic Process

The 122nd Asssembly Meeting of the Inter-Parliamentary Union

Bangkok, Thailand March 27th – April 1, 2010

Read by: Nova Riyanti Yusuf, MD, Psychiatrist

Mr.Chairman,

Fellow Parliamentarians,

Distinguished Delegates,

Ladies and Gentlemen,

Democracy means participation of the people in decision-making. While the increasing adults’ participation in the democratic process is necessary, we certainly need to pay more heed to address the participation of youth in the democratic process. I believe that increasing the opportunities for all young people to participate in the democratic process is one of the most effective means to promote democracy and the benefit from youth great potential.

In this context, my delegation holds the view that it is crucial to give young people a chance to participate in the political process. Education for young people concerning politics as well as more engagement between politicians and young people are extremely needed.

Indonesia supports the promotion and implementation of any constructive international resolutions on youth such as the United Nation’s World Program of Action for Youth, which highlights the necessity of youth participation in decision-making processes. This World Program of Actions for Youth can serve as an effective guidance on developing comprehensive role models for youth empowerment programs.

Indonesia affirms that deepening young people’s knowledge of democracy issues and practical skill training for conflict resolution and the promotion of “home-grown” democracy is extremely necessary.

At the regional level, Indonesia has initiated the Bali Democracy Forum which aims at promoting democracy in the region by strengthening democratic institutions through sharing of experiences and best practices among Asian countries. We are in the view that democracy must not be imposed but rather be allowed to evolve in accordance with local values, culture, and the aspirations of the people. To implement the recommendations of the Bali Democracy Forum, Indonesia also established the Institute for Peace and Democracy, whose one of the priority areas include the encouragement of youth participation in the democratic process.

Indonesia strongly encourages IPU member parliaments to create effective channels of communication and modes of operation among youth as a means to promote democracy, peace, and human rights, in this regard, in relations to the IPU Assembly, we would like to propose a sub-amendment to the draft resolution: one operative paragraph regarding the establishment of a meeting of young parliamentarians in the IPU Assemblies and an operative paragraph on regional cooperation through regional forums or institutions specializing on the promotion and advancement of democracy.

Indonesia emphasizes the importance of fostering democracy, mutual respect, tolerance and understanding among young people with different racial, cultural and religious backgrounds between nations. Indonesia supports all forms of initiatives to build dialogue related to building mutual-understanding and related respect for cultural and religious differences, through forums such as inter-faith dialogues and inter-civilizational dialogue, whether in bilateral, regional, or international aspect. Indonesia has been actively promoting various bilateral and regional inter-faith dialogue initiatives as part of its efforts to realize Indonesia’s vision as a bridge-builder and peace-maker.

Indonesia urges other IPU member parliaments to formulate laws on youth empowerment which is aimed particularly at enhancing young people’s participation in the democratic process. In this regard, Indonesia has legislated a Law on Youth: the 2009 Law number 40 on Youth. Indonesia also has long recognized the importance of youth development and has had a Ministry dedicated to youth barealy a year after our independence.

Thank you.

WOMEN PARLIAMENTARIANS WORKING GROUP on WOMEN TRAFFICKING

Statement by the Indonesian Delegation

The 122nd Asssembly Meeting of the Inter-Parliamentary Union

Bangkok, Thailand March 27th – April 1, 2010

Indonesian Intervention

Nova Riyanti Yusuf, MD, Psychiatrist

Thank you madam Chairman,

Fellow Parliamentarians,

Distinguished Delegates,

As delivered by the delegate from Jordan, Indonesia has a huge number of migrant workers, especially women, which lies on socio-economic problems of the women such as poverty and unemployment. And due to unfortunate circumstances, those women become victims of trafficking.

As Indonesia has passed several national laws concerning trafficking in women and children, most importantly, our law No.14/2009 regarding the Adoption of the Protocol to Prevent the Prosecution and Punishment of Human Trafficking, especially Women and Children.

We believe that taking into consideration the extraterritorial nature of women trafficking, parliamentarians of IPU member countries should persuade their respective governments to establish a common agreement between the sender and destination countries to protect the rights of the women who become the victims of trafficking.

As the implementation of the protection itself there should be further and thorough discussion on the effectiveness and fully-committed joint cooperation. It is not only aspect of law, but also the damage (physically and psychologically) upon the victims who return to their countries of origin.

Thank you.

Women in Politics Debate

Statement by the Indonesian Delegation

The 122nd Asssembly Meeting of the Inter-Parliamentary Union

Bangkok, Thailand March 27th – April 1, 2010

Debate

Nova Riyanti Yusuf, MD, Psychiatrist

Thank you madam Chairman,

Fellow Parliamentarians,

Distinguished Delegates,

We would like to share how Indonesian female legislator candidates went through the most recent Legislative General Election in 2009. For quite some time, psychologically and physically we were prepared for the Zipper system or 30% quota reserved for female legislator candidates but in 6 months or so prior to the general election we were taken by surprise when our Supreme Court announced the system changed from Zipper System into Popular Votes system.

Within short notice, we had to quickly adjust ourselves. We weren’t busy with the political lobbying but more on persuading the constituents in our electoral basis.

The result of the Legislative General Election was not bad, but also not that great. Somehow we managed to secure 18.4 % of the seats for female legislators in the House of Representatives.

It is understandable why I said not bad because according to IPU report, the year 2009 was marked by continued progress for women in parliament. The global average for the proportion of women in parliament reached an all-time high of 18.8%.

Based on our very own experience and also absorbing the difficulties by female politicians throughout the world, interventions indeed still need to be done.

We still expect a growing number of women in politics, specifically in the House of Representatives. However, despite the amazing strife by undying Indonesian female politicians last year, we recognized that the progress to empower women in political arena may take some time. Some questions emerged, such as why women won’t vote for women, which it got nothing to do with esthetical reason, but could be the cultural context in Indonesia which is still heavily patriarchal. Therefore we never stop conducting advocacy to women citizens about how to empower themselves to be politicians. The role of existing MPs as role models to young women, as well as political education. Not only we will get more women to serve as Member of Parliaments, but also female parliamentarians who can hold strategic posts in the House of Representatives such as chief of commissions and even Speaker of the House.

Indonesia House of Representatives would like to press issue that the strategies to increase women participation in politics may vary between countries depending on their cultures, electoral laws and even their progress in democracy process. We just want to give fellow distinguished delegates the process we’ve been through last year and the silver lining of the Popular Votes system strongly reminded us that it is the people to lobby, to empathize with, not the high-rank officials from political parties.

Thank you.

With Timor-Leste Delegates from National Parliament (Lotus Garden BCC 26th floor, Saturday, March 27, 2010)

With UNDP's Legal Adviser to the SC of the National Parliament, Bruno Lencastre (Inaugural Reception, Lotus Garden 26th Floor, Bangkok Convention Center, March 27, 2010)

Lunch with ASEAN 3+ (55 Restaurant, Bangkok Convention Centre, March 28, 2010)

3rd Standing Committee: NoRiYu + Andi Azhar (Bangkok Convention Centre, Monday, Wednesday, March 31, 2010)

Third Standing Committee: NoRiYu + Andi Azhar (Bangkok Convention Centre, last day in Committee)

Assembly with the whole crew minus few (Bangkok Convention Centre, Wednesday, March 31, 2010)

Minjem meja pimpinan assembly (Bangkok Convention Centre, March 31, 2010)

Nyobain podium Ketua Delegasi (Bangkok Convention Centre, March 31, 2010)

NoRiYu & Hidayat Nur Wahid, Suvarnabhumi International Airport, Bangkok-Thailand (Friday, March 26, 2010)

NoRiYu + Nurhayati Ali Assegaf, Bangkok Convention Centre (Woman Parliamentarian, Saturday, March 27, 2010)

Take the floor for trafficking of women session, Bangkok Convention Centre (Woman Parliamentarian, March 27, 2010)

Woman Parliamentarian Delegates

Dinner of Woman Parliamentarians (Plaza Athenee Bangkok, Sunday, March 28, 2010)

Center: the unique former reggae singer, Pansak Ransibrahmanakul (Advisor to the President of the Thailand Senate)