You are currently browsing the category archive for the ‘Journal of a Libido Junkie’ category.

Menuliskan ini sambil mendengarkan Jesus & Mary Chain “Just Like Honey”

          Cara menceritakan kisah minggu ini akan sama dengan kisah minggu sebelumnya. Bagaimana saya menutup sebuah minggu dengan menceritakannya dari akhir minggu sampai awal minggu.

          Namun saya ingin membuka cerita dengan sebuah pertanyaan: bisakah seseorang jatuh cinta karena energi-energi yang berseliweran dalam nafasnya? Karena alasan chemistry saja menjadi begitu membingungkan pada saat ketidakpahaman alasan mencintai seseorang mendera.

          Setelah berbicara tentang kenikmatan rasa, saya juga gundah karena melihat teman saya yang sedang menderita karena rumahtangganya tidak seperti yang ia harapkan dan kini mereka bertahan dengan berselingkuh demi anak. Tidak ada lagi jejak bahwa mereka adalah pasangan. Kadang saya seperti menangis sendiri ketika mengingatnya (padahal belum tentu kondisi saya juga lebih baik). Parahnya lagi, kadang ketika melihat teman saya berselingkuh di hadapan saya, saya hanya meringis karena ingin melihatnya berbahagia, walaupun kebahagiaan itu tidak nyata. Saya dedikasikan sebuah teks lagu Stay Together for The Kids dari Blink 182 untuk mereka berdua di Facebook. Anggap saja sebuah minor tranquilizer.

          Hari Sabtu ini memang tidak diakhiri dengan cinta dan “kebinasaan cinta”, justru dengan memakan tahu-tempe goreng dan pizza di rumah saya. Rangkaian kegiatan hari ini diakhiri dengan pertemuan di ruang makan. Adelina dari Trans 7 menawarkan tentang kemungkinan saya & teman-teman menjadi peserta sebuah acara Reality Show baru di Trans 7. Kalau tidak salah namanya Challenges. Kami akan diperbandingkan dengan seorang caleg dari partai lain. Dan ini adalah episode pertama atau dengan kata lain, kami akan menjadi pilot project (bahasa kerennya, kelinci percobaan). Kami tidak terlalu risau dengan masalah “banding-membandingkan”, tetapi kami lebih risau tentang bagaimana kami berani menerima tantangan dengan optimis. Upaya bisa dioptimalkan oleh setiap manusia, dan seperti biasa masalah hasil kami hanya bisa tawakkal. Jadilah kami menerima tantangan dan Christine Tournadre —yang terus setia merekam beragam kegiatan kampanye kami— tersenyum-senyum dan mengatakan bahwa ia sangat senang bergabung dengan kami karena selera humor kami yang tinggi. Humor memang mekanisme pertahanan yang matur, jadi kami termasuk beruntung dapat terus tersenyum. Walaupun senyum saya juga bisa menjadi sangat masam saat diobok-obok narasumber dari partai lain dalam sebuah parodi Democrazy.

          Sebelum berakhir di rumah saya, kami menyempatkan diri untuk mampir di percetakan favorit kami. Menjadi favorit karena salah satu penguasa percetakan selalu menunjukkan atensi, salah satunya dengan membelikan hamburger blenger pada saat kelaparan dan lupa waktu. Kali ini saya tidak keracunan tinta, karena tidak terlalu lama mengotak-atik desain atribut. Tetapi sepulangnya dari percetakan, lagi-lagi intoksikasi macet menyerang. Sudah 4 malam saya terintoksikasi jalanan Jakarta yang semakin berbahaya (berbahaya karena pelan-pelan membunuh manusia).   

          Mengingat acara hari ini yang super padat, Christine pun ikut merasa takjub bahwa empat kegiatan dapat terselesaikan dalam 6 jam di Jakarta. Sebelum ke percetakan, kami menemui konstituen di Jakarta Pusat dan memeriksa keadaan sebuah puskesmas yang agak mengenaskan. Sebagai dokter, rasanya saya tidak terlalu terkejut melihat kondisi-kondisi seperti ini. Bukan karena saya tidak pusing, justru saya berharap pada diri saya ini bahwa suatu hari kelak saya mempunyai sebuah wewenang untuk membedah tampilan secara estetik dan memaksimalkan fungsi semua puskesmas di Jakarta. Dan tentunya seluruh Indonesia. Tubuh manusia indah, dengan perjalanan hidup dan matinya. Lantas, rumah sakit dan sarana-sarana kesehatan adalah koridor hidup-mati yang harus diprioritaskan.

          Berbeda dengan suasana Jakarta Pusat yang lebih santai, kami juga diundang oleh warga Jakarta Selatan pada sebuah acara pernikahan dengan adat Betawi. Acara kondangan ini unik dan heboh karena biasanya saya hanya dapat menyaksikan dari luar barisan. Tadi, kami berada dalam barisan dan menjadi orang Betawi untuk satu jam. Namun silat si Pitung membuat saya dan teman-teman bolak-balik tiarap karena takut terlibas golok nyasar. Untuk mendapatkan perawan Betawi, ada beberapa tahapan dalam prosesi menuju ijab kabul. Satu, jago pantun. Dua, jago bela diri. Tiga, jago mengaji. Setelah melewati ketiga tahap tersebut, jadilah si bocah laki-laki ini menikahi perawan Betawi impian. Kami pun bertepuk tangan karena terharu. Haru yang merupakan pertautan rasa bangga pada si bocah dan juga rasa sedih karena sebuah budaya yang begitu mempesona harus berlangsung di pinggir jalan raya yang ramai oleh angkutan kota berseliweran (bunyi klakson merusak kekhidmatan acara).

 

(Diselingi dengan mendengarkan musik JUMP by Madonna. I love everything about Japan and everything being filmed in Japan. You name it. Including The Killers’ video, Read My Mind).

 

          Jumat malam saya batal menghadiri reuni SMA Tarakanita’95 karena setelah pertemuan dengan UMNO Youth Malaysia di daerah Kuningan, saya terjebak dalam kemacetan. Begitu tiba di wilayah dekat rumah, saya memutuskan untuk pulang dan beristirahat. Tidak heran produktivitas Indonesia terancam karena kemacetan jalan rayanya yang diprediksi akan macet total pada tahun 2014.

          Hari Kamis malam saya datang ke sebuah acara tahlilan salah satu warga Jakarta Selatan dengan Christine mengikuti sambil agak berkeringat (mungkin karena sudah kelelahan saya ajak bermacet-macetan dari Green Radio di Utan Kayu sampai Pondok Indah tanpa AC karena saya lupa beli bensin). Paskal berpisah dari kami di Green Radio. Menjadi narasumber Green Radio selama 4 hari merupakan pengalaman yang mendebarkan karena saya merasa bersalah atas “beberapa” hal, salah satunya karena pada hari Senin dan Selasa saya tidak sempat hadir. Hari Selasa menjadi istimewa karena setelah siangnya saya menyempatkan waktu untuk mengajak ibu saya makan siang di Magenta dan menikmati Garlic Escargot, Mongolian BBQ, Nasi Hainan, Pak Coy in Crab Sauce, dan Chocolate Melt, janji saya molor sampai pukul 5 sore. Senin pun saya hampir lupa dengan janji untuk siaran by phone dengan Green Radio karena terlalu asyik main game The Sims Life Stories sehingga telfon genggam saya silent.

          Dan minggu ini belum berakhir, besok saya masih akan menghadiri undangan LIMA Nas & CIRUS pada sebuah acara di RM Koetaradja, Jakarta Pusat. Saya akan menjadi narasumber bersama-sama dengan Budiman Sudjatmiko (PDIP), Rama Pratama (PKS), Wanda Hamidah (PAN), Iwan D.Laksono (PKB), dan Boston M (PPI).  Dengan segala kesibukan, saya gumamkan lagu Jesus & Mary Chain, “Just Like Honey”.

Seri Januari 2009

Biasanya saya menulis cerita dari depan ke belakang. Kali ini saya bercerita dari belakang ke depan. Hari ini hari Minggu, 25 Januari 2009, dan saya (masih) tertawa-tawa setelah menonton film Made of Honor (untuk pertama kalinya) dan Something’s Gotta Give (untuk kesekian kalinya). Dalam detik ini jelas sudah malam. Saya baru saja berpisah dari Natalie dan Christine Tournadre. Christine Tournadre adalah perempuan berdarah Perancis yang menjadi seorang filmmaker khusus untuk film-film dokumenter. Natalie juga berdarah Perancis dan mengajar pada Fakultas Ilmu Budaya (Sastra Perancis) di Universitas Indonesia. Mereka membuat rekaman film pada saat saya dan keluarga sedang menyaksikan tayangan Democrazy Metro TV di mana saya muncul sebagai narasumber dari Partai Demokrat dan membahas tentang iklan penurunan BBM 3X versi Partai Demokrat. Mereka ingin melihat reaksi saya dan keluarga pada saat saya muncul. Bagi saya tayangan ini adalah beban tanpa harus direkam oleh pembuat film dokumenter. Dan ini baru awal dari rangkaian rekaman yang akan mereka buat seputar kampanye saya di DKI II (terutama wilayah Jakarta Pusat) sampai menjelang hari Pemilu Legislatif pada tanggal 9 April 2009.

Saya tidak merasa bahwa saya telah berakhir pekan secara tepat (tepat artinya menenangkan jiwa). Karena saya masih tergoda membeli sebuah baju terusan berwarna khaki dengan harga diskon 10 % dan membayangkan akan memakainya dengan sepasang ankle boots kesayangan saya yang juga berwarna khaki. Sebelumnya saya sempat bertemu dengan keponakan saya, Tarash, yang menyusuli saya di Pondok Indah Mall 1 sebelum ia dijemput temannya ke Kemang untuk urusan ekskul fotografi. Kami makan di Bakmi Gajah Mada hanya sebagai teatime. Pangsit goreng dengan saus yang enak itu menjadi pengganti sepotong cake manis. Sebelum Tarash datang, saya menemani ibu saya membeli serangkaian produk perawatan kulit dari Perancis. Saya jadi teringat betapa seorang perempuan yang menjadi petugas pabean keturunan India membuang sebotol face tonic yang saya baru saja beli dengan harga murah di sebuah expo di Singapura. Ketika saya mengetahui harga aslinya, ternyata sangat mahal. Terkutuklah perempuan India itu yang membuangnya dengan tertawa-tawa sebelum melemparkannya ke dalam tong sampah besi.

Siangnya saya sempat tertidur siang setelah pulang dari pertemuan dengan Christine Tournadre dan Paskal Chelet. Paskal adalah peneliti. Mereka mendapatkan rekomendasi dari Noorca M. Massardi untuk menghubungi saya. Selain saya, akan ada caleg dari dua partai lain. Kami bertiga akan menjadi karakter utama dalam film dokumenter, Pemilu & Caleg DKI 2009. Tentunya dinamika kami bertiga akan menimbulkan kerutan dahi pada Christine dan kawan-kawan yang menyaksikan film ini suatu hari nanti. Bagi saya, minat Christine ini adalah sebuah kehormatan walau tentunya gerakan saya tidak akan sepenuhnya dapat diikuti oleh Christine. Selain keterbatasan waktu Christine, masalah ijin dari saya juga akan terbatas.

Pada hari Jumat sore, saya taping Democrazy di Metro TV dan cukup tegang karena harus menjadi narasumber berdua dengan Aziz Syamsuddin (Wakil Ketua Komisi III DPR-RI) setelah paginya saya datang ke panwascam (panwaslu tingkat kecamatan) dengan Rusdi Syarief (Caleg DPRD DKI Dapil Jakarta Selatan). Saat bertemy dengan petugas panwascam, saya meminta jadwal kampanye dan buku tentang peraturan kampanye (lumayan banyak juga pasalnya). Saya tidak mau kecolongan bahwa kampanye saya tidak sesuai dengan peraturan yang ditetapkan.

Pada hari Kamis malam, saya menyaksikan tayangan Just Alvin episode Bukan Roman Picisan di mana saya muncul sebagai salah satu dari tiga penulis perempuan (dua penulis lainnya Djenar Maesa Ayu dan Dewi Lestari). Taping-nya telah diambil pada hari Sabtu minggu sebelumnya. Saya cukup senang dengan tayangan ini walaupun seperti biasa ada berbagai reaksi yang muncul baik melalui HP atau Facebook. Ada komentar positif dan ada komentar kurang positif. Tidak ada yang bernada negatif untungnya.

Pada hari Kamis pagi, saya dan teman-teman turun pada lokasi banjir di daerah Pondok Pinang. Ini adalah pengalaman yang tidak terlalu “baru” bagi saya. Namun sensasi kepuasan tetap mengalir dalam setiap butir peluh saya dengan menemui berbagai ekspresi wajah mereka, bahkan tidak jarang disertai dengan komentar-komentar marah dan getir. Pada hari Rabu, saya berbelanja sembako secukupnya untuk 200 orang korban banjir. Membagikan sembako bukanlah ide ideal yang ingin saya lakukan, tetapi suatu ide sederhana selalu saja menjadi pilihan pada saat ada satu hal kecil yang harus mulai kita lakukan untuk orang lain yang sedang kesusahan. Akses mereka terbatas karena banjir, sementara mereka butuh makan. Maka sembako menjadi pilihan.  

Pada hari Selasa malam, saya menjadi guest speaker ROTARACT di Hotel ShangriLa atas undangan Yudha Ramadewa. Ini salah satu forum favorit saya karena interaksi dengan pemuda-pemudi ROTARACT sangatlah menyenangkan. Mereka sangat hangat, antusias, dan selalu tertawa. Tawa bagi saya begitu personal, karena selama saya masih bisa menertawakan film komedi situasi di televisi, artinya saya masih dalam batas normal. Selasa sorenya saya menjadi moderator diskusi buku karya Ahmad Tohari yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk dengan peserta dari EVE’s bookclub, forum Membahas Buku, dan juga budayawan Banyumas itu hadir, bapak Ahmad Tohari.

Mendengar penjelasan Kang Tohari, sangatlah menggugah setiap pengunjung diskusi buku. Selain bahasa tulis yang indah, kang Tohari juga punya segudang cerita tentang asal-muasal inspirasi menulis buku ini. Namun yang menarik perhatian saya tentunya jawaban kang Tohari atas pertanyaan saya: Apa respon pembaca yang paling mengejutkan dirinya? Ada dua, katanya. Pertama, pada saat seorang pembaca mengatakan bahwa kang Tohari menikmati royalti buku dari hasil menjual kisah orang miskin sementara orang miskinnya tetap miskin. Kedua, seorang santri mengatakan pada kang Tohari bahwa ia menjadi tidak suci lagi sejak membaca buku tersebut. Kang Tohari pun menawarkan solusi, bahwa dosa itu akan ditanggung berdua. Kedua hal tersebut menjadi reaksi yang terus mengusik kang Tohari sampai saat ini. Begitulah kang Tohari, budayawan Banyumas. Majalah EVE pasti akan mengupas lebih jauh lagi tentang hasil diskusi buku Ronggeng Dukuh Paruk.

 

[25.01.2009]