#1) “Under the Table and Dreaming” (majalah Djakarta! No.83, 21 Des’06)

by: NoRiYu (Nova Riyanti Yusuf)

      Pada sebuah acara makan malam, sepasang tangan bertautan dengan erat dan penuh harap. Yang satu berkeringat, sedang yang satunya begitu dingin. Anggur merah dan daging merah menemani hangatnya pedih yang tak tertutur. Juga dua pasang mata yang duduk semeja makan dan tidak bisa melihat ke bawah meja bahwa ada dua orang yang sedang memadu kasih dalam sunyi dan sembunyi. Dan mereka berdua hanya bisa berharap, bahwa waktu bisa berhenti dan membiarkan mereka menikmati secuil rasa dalam kegelisahan masa.

      Tetapi waktu tidak pernah bisa berdiam diri.

      Setahun pun sudah silam dan ulang tahun saya segera hadir. 27 November. Untungnya, jauh-jauh hari menjelang hari ulang tahun, ada ajakan dari seorang teman penulis (yang sangat saya idolakan) untuk makan malam di rumahnya dan dengan bonus, mau diajari manjat. Tepatnya sehari sebelum ulang tahun saya. Mudah-mudahan hadiah ulang tahun berupa kursus manjat kilat tidak berlanjut jadi tragedi. Tragedi atas nama sepi. Sehabis manjat dan langsung terjun bebas dalam rangka pencaharian kilat kegembiraan.

      Sekarang bagaimanakah cara memaknai hari ulang tahun? Setiap tahun itu-itu saja. Bila tidak berganti pasangan pendamping atau justru stagnan, paling-paling juga ritual yang sama. Secara maknawi juga tidak akan banyak berbeda. Menderita karena bertambah tua atau sebaliknya, berbahagia karena semakin nrimo. Entah dwikutub yang mana. Pilih saja sesuai situasi dan kondisi masing-masing. Tetapi lucunya, dalam upaya mencari makna dari esensi diri yang bertambah lagi usia 1 tahun, ternyata banyak sekali hal kecil yang melintas dalam pikiran. Misalnya saja saya teringat ucapan Tom Ripley, “Better be a fake somebody than to be a real nobody.” Atau salahsatu bait lirik Coldplay, “I don’t know which way I’m going, I don’t know what I become.” Mungkin itulah akar dari kelimbungan manusia, pertanyaan demi pertanyaan filosofis yang tak henti-hentinya mengganggu tercapainya kestabilan diri.

      Atau kadang, kita tidak usah berpikir aneh-aneh atau mengalami flashback. Telfon genggam juga bisa menjadi sumber bencana, berita, dana, nestapa, atau bahagia. Suatu malam di bulan puasa, saya memang sedang menulis dan tiba-tiba saja saya menerima sebuah pesan singkat dari orang yang tidak saya kenal. Isinya? “Beribadah dong, jangan nulis novel terus.” Pertanyaan saya, “Kok dia tahu, ya, saya pasti lagi menulis? Kesannya, I have no life.” Tetapi cara untuk menghadapi gangguan adalah dengan diam. Saya tidak membalas pesan singkat itu.

      Namun keesokan harinya, saya mendapat lagi pesan singkat. Isinya, “You’re so friend in your friendster messages, but different in reality, ya.” Belum kelar dengan hukuman atas mental chatters, kita juga harus kebal dengan komentar atau sindiran dari siapa pun juga. Tambah lagi, saya bertemu dengan seseorang yang menyatakan kepada saya dengan sorotan mata tajam, “Entah dengan kamu… tetapi tampaknya kamu sedang mempertanyakan keyakinanmu akan agama…” Kemudian dia mengangkat kedua bahunya.

      Haruskah kita menjadi sedih karena komentar orang lain atas diri kita? Sebenarnya, apa yang orang lain ketahui tentang diri kita? Dengan terbangnya waktu, dengan bertambahnya usia, rasanya hal-hal kecil dalam hidup menjadi lebih bermakna. Mencintai keluarga kita dan menunjukkannya. Atau mungkin menyayangi orang-orang yang bekerja untuk kita, seperti pembantu rumah tangga atau supir. Tidak usah berpikir jauh-jauh untuk menyelamatkan bangsa. Selamatkan dulu kehampaan diri ini. Rayakan hari-hari bersama dengan orang yang kita sayangi, atau berolahraga dengan kekasih hati yang begitu indah (indah hatinya, tidak hanya tampilan luarnya). Kadang kita berkata, “I don’t have time for that! I’m busy!” Selalu sibuk berurusan dengan hal-hal besar. Itulah sumber monopoli kehidupan, menggapai hal-hal yang tidak lagi intim dan hangat bagi diri kita.

      Kembali lagi ke pendapat orang lain tentang kita. “What do they know?” adalah kalimat yang paling tepat untuk menjelaskan bahwa kita tidak akan pernah paham apa yang terlintas dalam pikiran orang lain saat kita berada di sebuah restoran yang begitu terang-benderang dan di salah satu meja tampak seseorang bersedih dengan kilatan mata penuh kegundahan sembari mengotak-atik ipod-nya. Dia duduk sendirian. Bahkan seorang psikiater di dekatnya juga tidak akan mampu menerka apa yang sedang dipikirkan oleh orang itu. Mungkin di balik tabir dan kamuflase kumis, bibir, lidah, langit-langit, dan pita suara, ada teriakan.

      Mau tidak mau kita harus mengakui sebuah kaidah asal-asalan, bahwa setiap orang bangga dengan penderitaannya yang unik. Tidak ada yang ingin penderitaannya sangat lumrah dan sama dengan temannya. Walau jelas sekali memang tidak ada penderitaan yang seragam, yang akan membuatnya tampak lebur dengan yang lain. Saya pun tidak mau menjadi sama dengan tokoh Meredith Grey dalam serial Grey’s Anatomy, yang berkata pada kekasihnya yang mendua, “I’m so in this relationship that it’s humiliating I’m begging you right now. Choose me. Pick me. Love me.”

      Indah sekali untuk menikmati satu hari ulang tahun dengan kesadaran penuh atas diri ini. Seperti saya, ingin sekali bisa menerima bahwa saya ini sangat menikmati pagi hari yang bergulir lambat sambil menyeruput teh hijau (atau kopi panas bila butuh adrenalin rush) dengan sedikit sentuhan serial Malcolm in The Middle. Rutinitas rumah sakit —yang membutuhkan dedikasi tinggi untuk bisa berangkat pagi-pagi sekali— membuat saya jadi sedikit “terganggu”. Tetapi kemudian saya menjadi ambigu, bahwa segala sesuatu yang bergerak lambat juga membuat saya kacau. Ada kerinduan untuk berada di tengah dunia yang bergerak begitu kerap dan menantang.

      Hmmm… tetapi bila saya menghindari rutinitas rumah sakit, hibernasi saya juga tidak pasti akan membuahkan sebuah karya agung. Mungkin belum saatnya. Tetapi bisakah saya jujur bahwa saya benar-benar butuh berada di sini, di kesepian ini, hanya untuk bisa merasakan berlapis-lapis diri saya seutuhnya? Kenapa jadi menakutkan sekali untuk berani memutuskan bahwa kita butuh waktu dan ruang untuk menggerayangi diri kita sendiri?

      Then again, what do we know??

 

#2) Dammed up! (majalah Djakarta! No.84, 1 Jan’07)

By: NoRiYu (Nova Riyanti Yusuf)

      Jam 8 malam saya menerima telfon dari seorang reporter tabloid. Tujuannya meminta waktu saya untuk mendiskusikan tentang “pertempuran” antara 2 selebriti cewek Indonesia yang usianya masih imut-imut. Saya pun meladeni tanya-jawab yang membutuhkan sudut pandang dari keilmuan saya. Dengan sabar mbak-mbak reporter menjelaskan duduk perkaranya —walau sudah menjadi pengetahuan umum bahwa media gosip satu dengan lainnya bisa menyampaikan berita yang sama sekali bertolak belakang dan kadang sang selebriti pasrah saja karena sudah malas untuk meralat.

      Tidak mungkin untuk memberikan sudut pandang ilmu kedokteran jiwa yang sederhana. Apalagi saya tidak mengikuti berita perseteruan Ratu Felisha dan Andien secara seksama. Kalau pun seksama, artinya saya yang harus terjun langsung bertemu dengan Feli (demikian panggilan akrabnya menurut salah satu infotainment). Dengan terjun langsung, saya bisa melakukan wawancara psikiatrik untuk mendapatkan suatu gambaran yang komprehensif tentang kondisi psikis Feli. Menjadi menarik, lantaran mbak reporter hanya memburu pendapat saya tentang Feli, dan pilihan kata si mbak reporter: AGRESIF.

      Ada apa dengan agresivitas fisik? Kalau di kalangan selebritis Indonesia, Feli bukan yang pertama menunjukkan ledakan emosionil dan menjadi seorang agresor sejati. Atau istilah Feli, “khilaf”. Kita sudah lihat perseteruan Sarah Azhari dengan seorang PR kafe atau aksi keji pembunuhan berencana oleh Lidya Pratiwi. Sepertinya ada skrup lepas dalam pola coping mechanism selebritis Indonesia. Entah itu penyebabnya, atau karena penegakan hukum atas tindak penganiayaan tidak terlalu jelas diterapkan sehingga tidak ada filter yang tertanam dalam benak mereka bahwa agresivitas fisik bukanlah pilihan perilaku dalam pola interaksi antara sesama manusia yang tidak berkenan di hati.

      Merujuk pada serial Desperate Housewives, di salah satu episode Gabrielle Sollis perang dingin (psy-war) dengan seorang biarawati cantik yang berusaha mengembalikan Carlos ke jalan yang benar. Biarawati itu menganggap bahwa Gabrielle adalah pengaruh buruk yang akan menghalangi Carlos ke jalan yang benar. Walhasil, Gabrielle tertantang untuk berusaha mati-matian mempertahankan Carlos supaya tidak terbang ke Botswana, Afrika, melakukan aksi sosial bersama si biarawati. Ancaman-ancaman (yang tetap terkesan konyol dan satir) dilancarkan oleh Gabrielle. Bahkan ancaman fisik sekalipun, atas nama cemburu. Tetapi biarawati itu tidak gentar sedikitpun karena ia merasa yakin Tuhan akan melindungi dia dan bahwa yang penting tindakan Gabrielle tersebut tidak meninggalkan jejas atau bekas secara fisik. Ini menjadi sebuah perlindungan! Bahwa jejas dari penganiayaan fisik akan selalu memenangkan pihak yang tersentuh. Ini yang menghalangi Gabrielle untuk bertindak frontal dan main “hajar”. Ia cukup punya alasan untuk tidak bertindak bodoh, gegabah, dan sok jago dengan melakukan kekerasan fisik pada “lawan”nya.

      Kembali ke Indonesia, betapa sulitnya perasaan aman ini bisa dirasakan oleh warga negara bila tidak ada kejelasan hukum dalam melindungi siapa pun juga yang bisa terkena aniaya fisik atau pun kehilangan nyawa. Mau ke tempat dugem, takut disambit asbak, atau mau ke mall, takut digebuk pakai hak sepatu lancip, atau mau ke tempat terpencil untuk bermesraan dengan kekasih, takut dibunuh.

      Saya bisa saja mengajukan beragam teori perihal perilaku agresif. Baik dari learning theory tentang bagaimana pola coping mechanism yang berkembang dari pola penerapan dalam keluarga atau lingkungan tempat ia banyak menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bernaung. Apakah terbiasa dengan penyelesaian masalah secara dialogis atau dengan kekerasan verbal/fisik? Bisa juga saya ajukan teori kepribadian. Apakah ia mempunyai ciri kepribadian antisosial atau mungkin pasif agresif? Mau kena imbas Freud pun bisa, perihal libido yang membendung seperti waduk yang membludak (being dammed up) tanpa saluran pengeluaran sehingga dengan terpicu masalah yang berakar di masa lalu (seperti Feli yang “kata media” pernah berebutan pacar dengan Andien sewaktu masih duduk di bangku SMP atau tepatnya 6 tahun yang lalu), lantas keluarlah wujud agresivitas yang meledak-ledak.

      Segala teori dengan mudahnya bisa dikeluarkan oleh para analis kejiwaan. Ini menunjukkan betapa manusia begitu kaya. Kaya konflik, dilema, mimpi, harapan, dan sebagainya. Semuanya itu dikemas pula oleh keutuhan dan keragaman mental orang tersebut. Dengan adanya variasi, maka sangat mungkin untuk muncul varian-varian yang tentunya tidak berjalan dalam koridor “normalitas”. Kondisi ini harus dimahfumi, tetapi agresivitas yang melewati batas akan melewati juga batas perlindungan atas hak asasi manusia terhadap keselamatan fisik dan kelangsungan hidupnya. Di sini dunia kedokteran jiwa juga membutuhkan gandengan tangan hukum untuk memperjelas perannya masing-masing.

      Karena itu saya sangat bangga sekali pada Andien yang dalam salah satu wawancara menjawab bahwa ia akan menerima permintaan maaf Feli karena telah menganiaya pacarnya, tetapi sebagai “warga negara” yang baik, ia tetap menyerahkan perkara tersebut kepada polisi untuk diselesaikan sesuai prosedural hukum. Bukan karena saya senang dengan talenta musik Andien atau preferensi personal lainnya, lantas saya pun memihak Andien. Tetapi semata-mata karena Andien memberikan contoh sebuah ketegasan substantif sebagai warga negara. This girl definitely doesn’t talk too much just for the sake of publicity, but when she opens her mouth she knows what she’s talking about.

 

#3) Aa Jung (majalah Djakarta! No.85, 7 Feb’07)

By: NoRiYu

      Dua malam silam, saya berada dalam sebuah mimpi. Seorang sniper memburu saya. Dalam sebuah kamar, saya harus bolak-balik tiarap ketika kilatan cahaya merah tampak melekat pada tubuh saya. Saya sedang diincar. Entah bagaimana saya bisa selamat dari tembakan, yang pasti sebelum sniper itu sempat memberondong saya, saya sudah meminta tolong kepada seorang lelaki yang tampan. Mungkin agak-agak kampungan, tetapi pada kenyataannya saya memang terjebak dalam ketakutan dan diselamatkan oleh pria tampan impian saya. Kulitnya bersih tetapi tampak segar karena sering terjerang matahari.

      Mengikuti paham Aa Jung (baca: Carl Gustav Jung), simbol-simbol tertentu memang sifatnya universal. Obyek yang panjang dan silinder mensimbolisasikan sebuah penis, tetapi juga bisa menandakan kreativitas. Simbol-simbol sering dimaksudkan untuk menyatukan nirsadar kolektif1 dan nirsadar personal2. Tetapi yang penting bagi Jung (juga saya), adalah cara menginterpretasi mimpi itu sendiri. Dengan kalimat tanya, apakah sebenarnya sikap sadar saya yang sedang dikompensasikan melalui mimpi tersebut? Hmmm…

      Ini bagian tersulit untuk diurai. Dulu waktu saya masih 13 tahun saya bermimpi ingin menjadi perempuan dewasa berumur 30 tahun. Kemudian beranjak ke SMU Tarakanita I saya pun “diperkosa” ramai-ramai oleh teman sekelas saya yang cewek semua sampai saya bersembunyi di bawah meja saya sambil menahan tangis. Mereka mau memakaikan saya lipstick!! Buat saya itu sangat mengerikan dan menjijikkan. Sama mengerikannya dengan memegang selembar tissue. Saya sangat jauh dari sifat feminin dan rasanya mendekati absurditas kalau sampai jijik pada selembar kertas tissue (apalagi yang harum. Tidak sengaja menyentuhnya saja saya sampai muntah-muntah.) Dan akhirnya, saya pun mendekati usia 30 tahun dan tidak lagi absurd dalam menyikapi sifat keperempuanan saya (walau animus3 saya masih cukup kental). Ternyata jauh dari yang saya khayalkan waktu saya masih 13 tahun. Karena saya termasuk golongan orang dengan ciri kepribadian cluster B (dramatis, eratik), saya sangatlah meletup-letup sehingga mudah terjerembab ke dalam fase krisis seperempat abad. Dalam krisis itu banyak sekali proses kompensasi yang terjadi dan diikuti oleh sesal di kemudan hari. Termasuk kehilangan arah, fokus, dan berkaratnya ambisi.

      Untung sekali saya membeli majalah TIME yang memuat wawancara dengan Al Gore tentang film yang digarapnya seputar pemasanasan global. Saya pun jadi teringat dengan sebuah stasiun televisi kabel yang menayangkan tentang keresahan para pengurus lodge di pengunungan Alpen, karena salju yang turun begitu tipis, maka mereka harus mengakali ski trip menjadi hiking trip. Ini pun diakibatkan oleh pemanasan global.

      Dunia menua. Saya pun menua. Kita semua menua. Ini fakta yang membahagiakan karena ada keadilan di dalamnya. Kadang saya jadi cemas tak menentu. Entah karena takut dunia gulung tikar atau takut ditinggal ibu saya atau takut duluan meninggal dunia. Tetapi adakalanya saat sedang gundah, dunia ini mengajak kita bersenda-gurau. Saya sering pergi ke kafe apa saja yang dekat dengan rumah saya di bilangan Pondok Indah. Suatu ketika saya begitu gundah dan memutuskan untuk pergi ke sebuah kafe bernuansa Belanda bersama 2 keponakan (cewek dan cowok). Kami mencoba segala menu, tetapi karena porsinya kecil kami memutuskan untuk meminta daftar menu lagi. Menu pizza tampaknya lezat sehingga saya pun tanya-tanya, “Porsi pizza-nya gede nggak, mas? Kira-kira kenyang khan saya? Soalnya saya udah makan macem-macem tapi masih laper juga.” Masnya menjawab, “Wah pizzanya tipis, mbak. Gak kenyang.” Saya bingung juga, akhirnya saya mencari-cari menu lain. Kemudian saya ingat harus memesan makanan untuk ibu saya di rumah, maka saya mencari-cari menu rendah lemak. Mata saya pun menangkap menu ikan salmon. Saya tanya lagi ke pelayannya, “Mas, saya mau pesen yang ini, ya? Dibungkus. (sambil menunjuk menu yang dimaksud)” Pelayan itu langsung buru-buru menjawab, “Wah ikannya gak fresh, mbak.” Saya tambah bingung, ini orang sebenarnya mau dibeli atau tidak dagangannya.

      Seorang teman yang baik dan melekat di hati bisa menjadi pelipur lara. Suatu siang saya seperti kedatangan pahlawan yang mengantarkan 3 tiket gratis Jiffest untuk film Opera Jawa. Keesokan paginya teman saya itu sudah berangkat ke India dan saya merindukan kelucuannya, namun segera tergantikan oleh film Opera Jawa yang lucu dalam penuturan jenius sehingga cocok sekali untuk disaksikan oleh hati-hati yang sedang kosong karena bosan overload oleh sampah-sampah hidup. Apalagi adegan pencongkelan hati sang istri yang selingkuh menjadi adegan tak terlupakan. Perihnya begitu terasa, persis seperti lidah saya yang sudah tidak kuat lagi terkena cabe.

      Setelah menonton film ini, saya pergi lagi dengan keponakan-keponakan ke sebuah restoran. Di dekat daerah deplu. Saya melihat-lihat menu dan memesan Calamari. Pelayannya langsung memotong pembicaraan saya dengan wajah memelas, “Maaf, mbak… Cuminya lagi nggak bisa ditangkap.” Entah kenapa saya harus bertanya balik, “Maksudnya?” Keponakan saya yang sudah mulai cekikikan tidak kalah kena getahnya, gantian dia yang memesan fried rice dan pelayannya mulai beraksi lagi dengan tampang bloon, “Waduh, lagi gak ada bumbunya, ‘de…” Saya melihat ke sekeliling. Ruangan yang tadinya masih sepi sudah mulai didatangi banyak pengunjung. Mobil-mobil juga terus berdatangan memasuki pelataran parkir. Heran juga, apa pelayannya dilatih untuk berkelakar satir dalam menghadapi pelanggan atau memang dibiarkan alami dengan gaya polos? Akhirnya saya puas tertawa karena begitulah cara dunia mengolok-olok. Lucu.

      Menjadi sebuah hari yang sangat menentukan ketika saya teringat cara untuk menertawakan diri sendiri. Dan membiarkan dunia mengajak kita tertawa dengan caranya yang terbodoh sekalipun. Untuk yang satu ini, kita tidak membutuhkan petuah Aa Jung.

[10/12/06 and today is important for me to remember]

 

1 Bagian dari nirsadar manusia yang lebih dalam; residu dari apa yang sudah terpelajari dari evolusi manusia dan masa lalu nenek moyang.

 

2 Bagian dari nirsadar manusia yang lebih superfisial; gudang dari berbagai represi.

 

3 Sisa-sisa pengalaman laki-laki pada psikis seorang perempuan.

 

 

#4) PROYEKSI (majalah djakarta! No.91, 07/21 MEI’07)

      Never blame the place. Never blame anything outside you. Try to blame yourself for once.

      Paling gampang menyalahkan Jakarta. Jadi lupa, kalau sebenarnya Jakarta tidak tahu apa-apa. Jakarta itu seperti bayi yang terlahir suci dan dinamai Batavia, kemudian nama tersebut diganti menjadi Jakarta. Kita banyak sekali memproyeksikan bagian dari diri kita yang tidak kita suka atau sampah-sampah terpendam yang merusak bagian dari diri kita yang baik dan kita proyeksikan keluar menjadi amukan, murka, tamparan, atau intimidasi atas nama dendam. Termasuk menyalahkannya pada kemacetan dan ketidaknyamanan Jakarta yang sebenarnya adalah salah pengelolanya. Salah orangnya. Jadi dari awal saya ingin menegaskan, mungkin saya salah sempat berpikir “anti-Jakarta”.

      Kadang amarah yang keluar adalah suatu bentuk salah dari niat baik bawah sadar yang ingin memperbaiki kesalahan di masa lalu terhadap orang lain. Saya tidak bisa menjelaskan lebih cerdas, karena ini bukan masalah wacana yang selama ini senang sekali saya utarakan. Ini masalah realita yang sering sekali dialami manusia. Ada dosa-dosa dan rasa bersalah dari masa lalu yang tidak bisa terselesaikan baik atau meminta maaf kepada orang-orang yang telah kita sakiti baik dengan kata, kekerasan psikologis, maupun telapak tangan atau jari-jari yang bisa bengis dan keji. Dan bukannya tambah berbuat baik, seseorang bisa menjadi terhantui rasa bersalah dan lain-lain itu, sehingga sedikit banyak akan mendistorsi fokus dalam menjalankan kehidupannya di Jakarta. R.D. Laing (lagi-lagi psikiater Yahudi ini), menjustifikasi bahwa ada makna dari setiap tindakan manusia. Jadi ada makna dari setiap kegundahan manusia. Tetapi yang menakutkan adalah akumulasi dari kesalahan yang pada akhirnya tertumpuk untuk menutupi kesalahan masa lampau.

      Namun yang lebih menakutkan lagi, adalah ketidakmampuan untuk menanggalkan rasa bersalah itu sehingga menggunung menjadi gunung berapi yang siap memuntahkan lahar panasnya. Yang terjadi, maka fisik dan harmonisasi diri pun terganggu. Saya harap saya tidak sendirian menjadi orang yang gundah, walau mungkin saya termasuk yang dianggap aneh atau “kurang kerjaan” dalam upaya saya memformulasikan faktor sebab dan akibat dari triangulasi pikir-rasa-perilaku manusia.

      Berkali-kali saya mengatakan saya ingin ke Jamaica dan akhirnya saya menyadari bahwa Jamaica menjadi simbolisasi dari obsesi saya untuk kembali ke alam dan kembali merasakan kebebasan hidup tanpa belenggu rutinitas. Ketawa proporsional juga menjadi indikator bahwa saya masih “sehat mental”. Mengapa banyak sekali manusia yang harus menderita karena mispersepsi bahwa dunia berharap ia harus menjadi seseorang yang dunia harapkan? Padahal mungkin, tidak ada yang berharap bahwa ia menjadi ia yang lain, tetapi ini hanyalah proyeksi dari dirinya yang salah kaprah memaknai dan memunculkannya dalam bentuk tindak-tanduk yang dipaksakan “sempurna” atau pada tempatnya. (Yang tidak mungkin mispersepsi adalah ekspektasi Jakarta bisa menjadi kota yang nyaman, indah, dan tidak terbangun asal-asalan tanpa estetika seperti sekarang.)

      Tidak jarang seseorang akan merasa dunia memusuhinya dan ia terkucilkan dalam dunia autistiknya. Selama masih ada awareness bahwa dirinya sudah mulai tidak seimbang dan “ngawur” serta butuh pertolongan psikiater atau teman sejati, rasanya psikopatologi yang bisa mengarah pada sindrom atau disease entity bisa dicegah atau diterapi secepatnya. Namun hal ini hampir jarang terjadi karena kehidupan bergulir begitu cepat, kita merasa takut untuk diam sejenak dan mendengarkan tubuh kita berbicara atau menegur kita.

      Karen Horney, seorang psikoanalis dari Jerman, pernah menawarkan sebuah konsep yang cukup orisinil tentang alienasi, realisasi diri, dan citra ideal manusia. Ibu ini memaparkan kesalahkaprahan manusia yang kehilangan sentuhan dengan real self-nya dan memaksakan diri untuk mencapai ideal self. Dalam upaya tersebut, ia dihadang oleh berbagai neurotic claims atau tuntutan-tuntutan yang keras sehingga bisa mengganggu level kewarasan seseorang. Adakalanya tuntutan itu sifatnya internal tetapi kita marah-marah bahwa dunia di luar kitalah yang mengganggu level kewarasan kita dengan segudang tuntutan eksernal. Sifat-sifat seperti ini akhirnya bisa menjadi silent killer terhadap diri kita sendiri; bila tidak menjadi Cho Seung-hui yang memuntahkan amarah bersama 32 peluru di Virginia Tech. Suatu contoh proyeksi yang brutal bahwa jiwanya adalah korban perkosaan dunia atau olok-olokan. Kalau sudah begini, setidaknya kita “masih beruntung” dan wajib berterima kasih tinggal di Jakarta yang menjadi ibukota Negara RI yang melarang perdagangan senjata api secara bebas seperti di AS. Istilah “masih beruntung” memang anutan dari Jawa dan terbukti sangat bermanfaat untuk kita hayati dalam masa hidup yang rentan seperti sekarang.

      Sampai pada suatu malam saya mengalami gangguan tidur, saya bermain SMS dengan seorang teman yang berdinas di Bali dan sedang bersantai-santai menyeruput air mineral di Kudeta, Seminyak. Betapa saya menyadari, saya dan dia begitu serupa. Sampai sini saya teringat: there’s always a man, but never the right man. Dalam pertemanan atau dalam diskusi tentang duka dan lara, dibutuhkan sosok yang tepat untuk menjadi sparing partner. Selain bisa saling melengkapi, kita pun bisa yakin bahwa rahasia kita tersimpan rapat dan tidak justru malah berkembang menjadi gosip dan duka lara yang semakin dalam dan melebar.

      Namun dalam hal tempat, there’s always a better place, but there’s no place like Jakarta. Saya sedang menantikan kembalinya teman saya ke Jakarta (ini teman yang lain) yang telah menghilang hampir dua tahun karena mengelola sebuah hotel di Tanjung Benoa, Bali. Walaupun hotelnya sudah grand opening dan dari prediksi awal cukup prospektif, ia masih percaya Jakarta bisa menjadi cangkang untuk membina karirnya.

 

#5) EVOLUSI, ILUSI & POLITIK INSTING (majalah djakarta! No.100, 07 Nov’07)

Nova Riyanti Yusuf (NoRiYu)

      Hah! Apa pula maksud judul di atas? Konon ada penghuni-penghuni blogs yang tidak (begitu) suka dan mengatakan bahwa “Mbak NoRiYu itu sok kepinteran…” atau sebuah media yang sangat dikagumi sejak duduk di bangku SMA mengatakan “obsessive pride in psychiatry”. Akhir-akhir ini saya sedang jadi musuh segelintir orang, tetapi ada juga yang terobsesi (kalau pakai ‘tetapi’ kesannya paradoksikal, ada unsur positif sesudah kalimat yang berunsur negatif). Tidak tahu bahwa yang bersangkutan (ybs) juga tidak sedang “sehat-sehat” amet. Ybs lagi capek, lagi buntu, lagi sedih, lagi kesepian, dan lain-lain. Ybs hanyalah manusia yang terus berevolusi, sering terjebak ilusi, dan berpikir bahwa politik insting adalah solusi.

      Sebuah paragraf introduksi di atas jelas menunjukkan ketidakberesan akal penulisnya.

      Saya sedang mengagumi Criss Angel dengan Mindfreak-nya. Ini adalah sebuah kebetulan saja. Pada hari lebaran kedua (nasional), saya pun mendapatkan kesempatan langka menonton Mindfreak di televisi. Padahal biasanya saya tidak mau menonton Angel karena hati dan spirit saya sudah terpateri pada David Copperfield sejak dulu. Saya suka Copperfield yang dramatis dan romantis, sedangkan Angel berkesan terlalu gothic, gelap, seperti dari dunia gaib. Adakalanya Angel berkesan terlalu rockstar dan bukan ilusionis. Namun, Angel tetaplah tidak menistai dunia para ilusionis.

      Cukup dengan like dan dislike. Pada intinya, Angel dan NoRiYu bernasib sama. Kadang mereka berdua tampak sayu di sekitar lingkar mata karena kelelahan. Mungkin lelah eksperimentasi, lelah ambisi, dan juga lelah karena tidak ada kesudahan dari dirinya. Kesamaan lainnya, mungkin mereka sama-sama masih muda. Atau istilahnya young adulthood. Dewasa, tetapi masih muda. Seperti yang saya tulis pada shoutout Friendster: “Criss Angel, will you marry me?” tetapi tidak ada respon.

      Asyiknya jadi orang muda, adalah kebebasan untuk berbuat kesalahan. Setelah berbuat kesalahan, dinasihati oleh yang tua-tua supaya jangan seperti itu lagi. Walaupun yang tua, juga belum tentu bijaksana. Konon, orang pintar tidak berbuat kesalahan yang sama. Tetapi adakalanya, kalau belum kejedot, seseorang belum kapok. Tidak asyiknya jadi Angel, mungkin pada saat ia berjalan menuruni dinding sebuah gedung tinggi tanpa pengaman, dia bisa terjatuh dan memar-memar sebagai korban dari ilusinya sendiri.

      Keberanian dan inovasi juga identik dengan waktu. Waktu yang mepet membelenggu proses inovasi karena waktu yang menguji kesahihan suatu inovasi. Persiapan yang berbulan-bulan hanya untuk sebuah ilusi, cukup dinikmati beberapa detik saja pada sebuah pertunjukan sulap. Makanya, yang muda kadang merasa di atas angin. Mereka merasa waktu berpihak pada mereka. Terlepas dari takdir, bahwa setiap manusia tidak tahu kapan ia akan mati.

      Berbicara tentang ilusionis, saya jadi ingat dengan janji segelintir kaum muda pada hari Sumpah Pemuda 2007, yang ingin ikut serta aktif dalam kegiatan pemerintahan dan jangan melulu yang tua-tua. Kemudian sebuah koran nasional menjuduli reaksinya ”Kaum muda jangan cuma minta jatah”. Apakah artinya ada ketidakberpihakan terhadap yang muda? 

      Bedanya para ilusionis dengan kaum muda di Indonesia, adalah audiens. Audiens seorang ilusionis, akan berusaha untuk menikmati saja suguhan ilusi yang ia hadapi (walau ada juga yang sok penasaran & berjanji untuk menemukan letak kunci dari ilusi yang akan disuguhkan). Seorang kaum muda yang ingin menjadi pemimpin di Indonesia, harus sadar, bahwa ia tidaklah lagi bisa menyuguhkan ilusi kepada rakyat Indonesia karena justru rakyat sudah mengantisipasi segala manuver ilusi yang akan diketengahkan dan berjaga-jaga supaya tidak jatuh dalam kenikmatan sesaat.

      Itulah evolusi rakyat yang terjadi di Indonesia. Mudah-mudahan. Kalau sudah begini, mau apa lagi kecuali berupaya untuk memanfaatkan insting, langkah-langkah apa yang jitu, yang tidak serta-merta ikut-ikutan, yang orisinal, yang mana yang lama tapi masih bermanfaat, dan pada saat yang bersamaan membutuhkan modal uang, untuk mempersiapkan sebuah agenda besar penyelamatan bangsa dari ilusi berkepanjangan. Semua ini membutuhkan insting. Terbalik kalau dikatakan, harus mempunyai insting politik untuk berpolitik. Justru politik dari instinglah yang akan membantu menentukan langkah-langkah selanjutnya.

      Media senang juga menampilkan artikel-artikel yang membuat “gede rasa” beberapa orang tokoh kaum muda. Mereka disebut-sebut sebagai calon pemimpin masa depan. Atau bisa dikatakan, beyond 2009. Pasti yang namanya tersebut, jadi mulai beruban dan membuncit perutnya. Atau bila perempuan, jadi ragu memilih pasangan, karena takut tidak akan suportif untuk karirnya. Ini cuma tebak-tebakan saja. Saya jarang sekali baca koran karena bingung dengan terminologi figur publik, konsep-konsep, dan stagnansi dari pemberitaan. Yang itu-itu saja. Kadang mendekati inti permasalahan, tetapi kadang semakin menjauhi inti permasalahan. Maunya mengonsumsi yang konsisten.

      Media hanya salah satu faktor saja yang berperan dalam menentukan nasib seseorang. Bisa juga media membuat seseorang jadi berpikir bahwa apa yang disebut-sebut di dalamnya, benar adanya dan harus ditindaklanjuti. Lantas kapankah semua fenomena itu harus ditindaklanjuti? Ini yang disebut dengan politik insting. Tidak selalu politik menjadi substansi gerakan. Justu instinglah yang sering terabaikan sebagai turbin gerak. Seperti insting Hillary yang mendekati pria tampan bernama Bill Clinton. Insting yang menghantarkannya pada dunia politik. Tanpa Bill, belum tentu Hillary menjadi capres 2008. Tanpa Hillary, belum tentu Bill menjadi presiden AS.

      Saatnya kaum muda bergeser dari ranah politik yang sudah belepotan dengan ide-ide basi dan membosankan. Setelah yakin punya kontribusi yang signifikan untuk membuat mata rakyat melotot dengan ide-ide brilian, barulah nyemplung ke dunia politik. Dibutuhkan persiapan matang, bukan hanya secara adademik, gelar doktor, tampang keren, citra diri, dan lain-lain yang sangat personal. Dibutuhkan 4 kriteria untuk pemuda jadi calon pemimpin bangsa beyond 2009: 1) tahu identifikasi permasalahan bangsa, 2) tahu cara memformulasikan masalah ke dalam rencana penyelesaian masalah, 3) tidak cepat puas, dan 4) masokis atau senang menyiksa diri demi kepentingan rakyatnya. Dengan kata lain, mirip eksperimentasi penderitaan seperti Criss Angel. Angel dielu-elukan, tetapi dia juga menderita saat harus mendekam dalam ilusinya.

 

#6) Merah Itu Cinta (majalah Djakarta! No.97, 21 Aug’07)

By: Nova Riyanti Yusuf

      Ada yang bilang “darah itu merah, jenderal!” pada tahun 1965, ada yang mengibarkan “bendera merah putih” pada setiap perayaaan 17 Agustusan, tetapi ada juga yang pergi ke bioskop dan menonton “Merah Itu Cinta” pada tanggal 17 Agustus 2007. Merah-merah itu menjadi simbolisasi dari perjalanan sejarah. Dari kesalahkaprahan pemahaman komunisme, ketidaksinkronan cerita peristiwa G 30 S, penemuan lagu Indonesia Raya versi Roy Suryo, sampai pemutaran film Merah Itu Cinta. Begitulah runutan sejarah, sarat dengan ketidaktepatan, tetapi yang penting adalah penghayatan makna dan arti dari merah itu sendiri. Karena entah mengapa, warna merah selalu ada dalam guliran sejarah manusia. Tidak hanya ada, tetapi juga memberi warna. 

      Merah menjadi perlambang keberanian, merah menjadi perlambang darah yang hidup, merah adalah jantung yang berdenyut, merah adalah cinta yang kalap, merah adalah alarm kelaparan hati tanpa cinta. Merah adalah kekuatan, kehangatan, juga peluh ketakutan. Silakan lanjutkan definisi merah sesuai dengan versi anda masing-masing…

***

      Tanggal 18 Agustus, jam 8 pagi buka mata. Minum air putih. Melirik ke telfon genggam dan meraihnya dengan tangan kiri. Ada beberapa pesan singkat. Salah satunya menyarankan untuk menonton sebuah acara di televisi swasta yang menayangkan kisah tentang veteran. Lumrah bila satu hari setelah HUT RI ke-62, suasana bangsa masih historik dan heroik. Tetapi masalahnya, saya belum bangun. SMS itu dikirim 2 jam sebelum saya membacanya. Rupanya ibu saya juga terharu melihat tayangan itu. Melankolis atau jadul?

      Berbicara tentang ahystorical generation atau generasi cuek dan buta sejarah, harus dicermati dengan beberapa persepsi berbeda. Yang penting jangan terlalu judgmental bahwa generasi muda Indonesia jelas-jelas ahistorik dan ogah paham tentang pahlawan atau sejarah bangsa.

      Buktinya, dalam skenario film layar lebar yang saya tulis (Merah Itu Cinta), saya sempatkan tokoh Raysa (Marsha Timothy) dan Arya (Gary Iskak) bertandang ke Museum Nasional dalam salah satu scene. Adakalanya situs-situs sejarah bisa juga romantis. Romantisisme sejarah bisa membangkitkan rasa ketertarikan.

      Bila sempat menyaksikan film ”The Ron Clark Story”, Ron Clark (diperankan Matthew Perry) melancarkan aksi-aksi inovatif dalam mendidik siswa-siswinya yang super bandel di sekolah publik daerah kumuh Harlem, New York. Saking semangatnya mendidik tanpa kenal lelah, Ron pun menderita pneumonia. Sebagai seorang guru, Ron tertantang untuk menstimulasi minat belajar siswa-siswinya, diantaranya dalam mengajarkan ilmu sejarah. Sebagai guru berkulit putih yang harus berhadapan dengan murid-murid berkulit hitam, berdarah Hispanic dan juga keturunan India, Ron sempat frustrasi dan memutuskan untuk berhenti memaksakan diri. Tetapi pada akhirnya, Ron tidak berhenti. Ketika berupaya mengajarkan sejarah 42 orang Presiden Amerika Serikat, Ron pun tidak kehabisan akal. Ia datang ke kelas dengan membawa boombox. Sambil memasang musik rap dari boombox, Ron meraih sebuah topi New York Yankees dan dengan sengaja ia pakai terbalik. Ron pun beraksi memperkenalkan sejarah presiden Amerika Serikat secara kronologis dengan gaya nge-rap. Bahasa sejarah dirubah menjadi bahasa rap yang merupakan gaya musik anak muda yang mendarah daging (karena menyuarakan isi hati mereka yang merasa tertindas sebagai kalangan minoritas). Sejarah pun menjadi keren dan menarik karena diadaptasi ke gaya kontemporer.

      Kalau sejarah tidak menarik, sebenarnya bukan salah sejarahnya. Yang salah adalah cara delivery-nya dan kemasannnya. Ini berakibat input sejarah yang bersifat masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Dalam salah satu episode serial The Simpsons, Lisa mengikuti perlombaan membuat diorama tentang sejarah Amerika. Lisa membuat diorama Oliver Twist, sejarah sastra Amerika. Gara-gara melihat di The Simpsons, seseorang bisa jadi tertarik dengan sejarahnya Amerika karena ada proses perlekatan di otak. I know i did.

      Kesimpulannya, dimensi kreativitaslah yang harus bertanggung jawab mensosialisasikan sejarah. Kalau mau membuntuti gaya Bung Karno bisa-bisa Bung Karno bangkit dari kubur karena menganggap penerusnya tidak kreatif. Hanya sebagai pengingat saja, Bung Karno itu kerap menyelipkan istilah ’jasmerah’ dalam pidatonya yang artinya jangan sekali-kali melupakan sejarah.

      Kesimpulannya lagi, peran kreativitas untuk penyampaian sejarah secara efektif dan tidak percuma justru ada di regio otak para pendidik dan para kreator seni (istilah pekerja seni rasanya kurang enak dibaca). Ini adalah sebuah tantangan yang tidak mudah, mengingat generasi sekarang keasyikan bermain-main di dunia maya yang tidak lagi mengenal waktu karena waktu menjadi begitu cair, lebur, dan tidak bersekat antara dulu, kini, dan yang akan datang.

[late.for.deadline]

 

Merah Itu Cinta: judul film yang skenarionya banyak dikritik (& me as the scriptwriter is guilty as charged). Untung cukup bisa diperhitungkan dan mendapatkan 7 nominasi Piala Citra 2007.

 

#7) ENAMORED (majalah djakarta! No.104, 7 Feb’08)

By: Nova Riyanti Yusuf

 

            Kata ini begitu memikat saya: Enamored. Saat seseorang menggunakan kata ini, saya pun memastikan maknanya dengan memeriksa sinonimnya. Ada banyak memang, tetapi saya pun memilih beberapa yang kira-kira paling relevan dengan maunya saya: 1. captivated, 2. mesmerized, dan yang ketigalah yang paling membuat saya tercekat, 3. in love with. Saya pun senyum-senyum sendiri. Sayang sekali, kata ini muncul dari sebuah surat yang penulisnya entah sedang berada di belahan dunia mana. Untuk saat ini, dia menghilang. Tetapi kata yang dipilihnya, walaupun secara tidak langsung, tidak menghilang dari ingatan saya.

Tentang menghilang dan dihilangkan. Adakalanya kita begitu marah dengan seseorang atau sekelompok orang dan ingin menghilangkan mereka, baik dari citraan fisik atau memori. Tetapi yang satu ini sepertinya tidak mungkin, kecuali ada wabah virus mematikan. Kalaupun dipaksakan, maka pilihan yang tersisa adalah menghilang.

Menghilang dari peredaran atau radar teman, kadang disalahartikan sedang belagu atau banyak proyek tapi lupa teman. Padahal menghilang bisa berarti sedang merenung sampai tenggelam ke sedalam-dalamnya rasa sedih karena tidak menemui akar permasalahannya. Setiap orang berhak untuk menghilang. Untuk menemukan kembali jati diri, bukan untuk menghilang selama-lamanya. Karena bisa jadi proses penghilangan diri berakhir dengan sebentuk solusi. Sedangkan memaksakan diri untuk selalu berada dalam lingkaran pertemanan dan lingkungan sosial, belum tentu bisa mengembalikan diri pada keseimbangan.

Hari-hari tanpa perlekatan bisa terbagi menjadi dua kategori: tidak produktif dan sangat tidak produktif. Tidak produktif sambil menonton DVD seharian atau marathon HEROES dan berakhir dengan ide-ide yang lumayan menjadi impetus untuk berkreasi atau tampil lagi. Atau banyak kirim SMS dan dari SMS itu muncul kalimat-kalimat yang cukup cerdas atau lucu untuk dimasukkan dalam skenario film, buku atau blog.  Sangat tidak produktif dihabiskan di tempat tidur, selimutan, merengut, SMS orang tetapi malah jadi menangis sendiri, mendengarkan CD Carla Bruni atau Siddharta Spirit of Buddha Bar malah merinding karena merasa jauh dari perasaan bahagia dan tentram. Wah ini dia, penyakit menjelang Valentine’s Day atau serangan akhir pekan.

Jadi bulan Februari yang seharusnya jor-joran dengan kasih sayang akan dilalui dengan rasa dan dilema yang berbeda-beda… Ada yang bingung apakah dirinya playboy, ada yang ingin menjaga keutuhan pernikahan dengan berselingkuh tetapi takut cewek selingkuhan meminta duit, ada yang cemburu dengan saingannya yang jelas-jelas lebih tampan dan memukau, atau ada yang sedang mempersiapkan persidangan cerai.

***

            Menyadari hidup tidak untuk hanya merasakan penderitaan kita sebagai penderitaan yang paling unik, lantas penting juga untuk mencari makna hidup yang lain. Bila tidak lagi berorientasi pada diri sendiri, bisa muncul orientasi ke luar diri, yaitu meradiasikan energi kita untuk membuat orang lain feel good. Kadang niatan ini terencana atau sama sekali tidak terencana.

            Di tengah kesibukan saya yang sedang tidak bisa mengatur waktu dengan baik, saya sempatkan hadir sebagai narasumber pada bincang-bincang pagi sebuah televisi swasta. Temanya tentang stres. Pas sekali dengan saya yang sedang berada dalam tekanan tugas yang belum kelar atau belum terselesaikan sempurna.  Diawali obrolan santai dengan dua orang host, acara pun berlanjut dengan kesempatan penonton untuk menelfon dan berkonsultasi. Saya merasa senang sekali dengan minat masyarakat yang semakin meningkat dengan masalah Mental Health dan kesadaran pentingnya mencari bantuan mediasi diri dari seorang psikiater. Setidak-tidaknya ada 10 orang penelfon yang beragam usia dan masalahnya. Walaupun di pagi hari dalam perjalanan ke stasiun televisi saya sedang lelah, tetapi proses konsultasi sedikit banyak memompa spirit saya untuk menjadi kembali berenergi. Namun setelah acara itu kelar, saya pun kelelahan karena energi tercurah cukup besar agar “tetap-cerdas-dan-bijaksana” saat membagi kekuatan jiwa kita kepada orang lain yang membutuhkan dengan menjawab pertanyaan atas ketidaksejahteraan jiwanya.

            Untung sekali satu jam berlalu dan host merasa sangat puas dengan episode pagi itu, hanya saja setibanya saya di rumah sakit sudah ada pasien yang menanti dan rupanya ia salah satu penelfon ke acara televisi tadi. Hati saya masih suka deg-degan apabila ada harapan yang ditumpukan kepada saya. Saya khawatir apa yang mereka lihat di televisi, tidak sama dengan apa yang mereka lihat dalam kehidupan nyata. Timbul kekhawatiran, saya akan mengecewakan. Ternyata rasa tidak percaya diri menjadi filter supaya kita tidak arogan dan merasa yakin pasti benar dan OK. Ada suatu rasa tanggungjawab yang besar, bahwa apa pun juga alasannya ingin membantu orang lain, pemeliharaan kualitas harus terjaga. Kualitas isi nasihat, konsekuensi, dependensi, cinta, atau sebaliknya kekecewaan, amarah, dan rasa kapok, bisa jadi bumerang yang justru tidak akan menolong orang lain.

            Berorientasi keluar dari diri kita memang sangat mulia, tetapi juga beresiko apabila kita tidak cukup tajam dan konsentrasi pada proses. Namun dengan fokus pada kesejahteraan orang lain, dan melepaskan tujuan pemuasan personal justru akan lebih aman dan benar.

Supaya seimbang antara input dan output, jangan pernah lupa mengisi diri dengan hal-hal sederhana tetapi kadang terlupakan. Misalnya, membiarkan orang yang kita diam-diam masih sayangi dan cintai dalam hati, bernyanyi di telfon untuk kita sampai kita tertawa terbahak-bahak, baik menyanyikan lagu orkestra Melayu dari tahun 70an atau lagu theme song Barney: “I love you… You love me…” dan jangan lupa berterimakasih padanya, cukup dengan mengatakan, “Thank you…you’re very cute…Dot! Titik! Jangan nangis atau sinis lagi.

 

 

#8) Flight of Ideas (majalah djakarta! No.105, 7 Mar’08)

By: NoRiYu

 

  1. Saya kagum dengan ibu saya yang sudah berusia 59 tahun, karena saya menemukan kekuatan pada dirinya dan mungkin juga sedikit diwarnai perasaan jenuh, tetapi juga masih tersisa kepolosan di dalam dirinya. Intinya, saya menyesal juga karena sering melanggar nasihatnya, menyalahkannya seperti anak pada umumnya terhadap seorang ibu (seperti Callista Flockhart dan Rachel Griffith terhadap Sally Field di dalam serial “Brothers & Sisters”), dan saya masih tidak mengetahui bagaimana cara menunjukkan rasa cinta, sayang, atau bangga padanya.
  2. Saya sering terganggu oleh istilah “ELEGANCE”. Obsesi saya tentang “elegance” dikarenakan saya mempunyai seorang teman yang tamat dari sebuah universitas di Inggris, dan selalu menuntut saya supaya elegan. Bolak-balik kita bertengkar tentang istilah ini. Saya merasa hubungan saya ke dia sangat kritis konstruktif, tetapi dia ke saya kritis destruktif atau patronizing! Sampai suatu malam terjadi perdebatan tentang wafatnya Soeharto. Saya malas banget berkomentar, karena sudah terlalu banyak yang berkomentar. Bukan berarti saya insensitif tentang peristiwa penting, dalam hati saya menimbang-nimbang tetapi ambivalensi-yang-didominasi-keteguhan hati saya sudah disuarakan oleh banyak orang. Dan yang terjadi kemudian, kita berdua lupa menjadi elegan karena terlalu sibuk membela keyakinan masing-masing. Hmm…rasanya perdebatan itu lebih dalam dari hanya sekedar upaya mempertahankan keyakinan politis. Perdebatan itu sangat personal. Dan bukan tentang almarhum Soeharto. Paling tidak, saya paham konsep elegan ketika teh tarik yang diseduh oleh ibu saya terasa lebih enak daripada yang saya seduh sendiri  (that’s a motherhood’s elegance). Padahal saya berbakat menjadi juru masak yang lumayan eksperimental, enak, dan bercita-cita menjadi koki suatu hari nanti (Mungkin setelah cita-cita berbulan madu ke Jamaica tercapai).
  3. Tentang attention-seeking. Awalnya, tidak ada rasa apa-apa. Sampai tidak tahu lagi harus berbuat apa, dan menganggap attention-seeking adalah satu-satunya cara mendapatkan sentuhan perhatian.  Caranya, berbohong, lying through the teeth, tetapi jadi sangat membosankan pada akhirnya. Ada kebutuhan mendasar untuk mendapatkan ketulusan, tanpa harus jungkir balik.
  4. Rasanya sedih sekali saat menyadari teori tidak lagi membuat saya merasa kagum. Sama tidak kagumnya dengan pendekatan sederhana dalam menghadapi problem-problem kesehatan jiwa.  Tapi saya senang juga ketika menonton serial “Yes, Dear”, mereka menggunakan istilah “reverse psychiatry”, biasanya istilah yang sering digunakan “reverse psychology”.
  5. Supaya tidak tersandung lagi pada kesalahan yang sama. Apakah akan disebut suatu kesalahan jika dilakukan lagi atau, sebuah pilihan? Karena jika kita melakukan sesuatu dengan merujuk pada referensi pengalaman personal, tentunya kita memiliki pilihan-pilihan yang lebih baik, yang bisa diambil atau diabaikan.
  6. Kenangan. Saya memakai jumper kakak saya pada saat ini pikiran saya sedang melompat-lompat dari satu isu ke isu yang lain dan pastinya saya sibuk sendirian dengan pikiran saya tanpa ada yang bisa diajak berbicara. Saya suka sekali karena bahan jumper (anak-anak sekarang menyebutnya, hoodies) ini sangat nyaman. Dan mungkin, karena jaket itu punya kakak saya yang sudah tidak ada. Mungkin mensimbolisasikan sebuah pelukan. Saya punya masalah dengan keintiman. Tidak ada yang memagari, tetapi terbiasa dengan dunia yang terfiksasi. Simbol-simbol selalu menjadi perpanjangan tangan dari rasa dan akal. Tetapi bukan berarti resiko penyampaian sinyal yang salah tidak dapat dihindari.
  7. Kadang-kadang jika sedang berusaha menjadi orang yang lebih baik, begitu banyak energi yang terbuang dan malah tidak menjadi baik sama sekali.
  8. Saya mempunyai seorang teman yang pacarnya tidak disukai oleh teman-temannya karena alasan yang berbeda-beda. Lalu teman saya dengan sengaja membuat teman-temannya berpikir tentang hubungan mereka yang sudah putus karena sebenarnya ia masih ingin meneruskan hubungannya dengan cowok ini. Hanya saja perlu tiarap dulu supaya tidak banyak orang yang berkomentar. Lucunya, cowok ini kemudian berbicara tentang fantasinya untuk melakukan 3some dan keinginannya untuk menjadi bintang film porno. Ya tidak parah-parah banget sich. Kalau sudah terbiasa menonton serial Sex&the City, topik yang seperti ini sudah biasa banget. Kalau dipikir, lucu juga obsesinya. Dan saya tertawa kalau mengingatnya, tanpa menjadi orang yang judgmental sama sekali. 
  9. Sebuah kalung dengan sebuah bandul berupa cincin berlian (yang mungil dan merangsang ilusi bahwa cincin itu mirip kepunyaan Penelope Cruz) memeluk leher. Sudah berkali-kali dilepaskan, tetapi kedua ‘sekuele’ itu masih menyimpan makna.  
  10. Tiba-tiba teringat dengan dokter bedah jantung ayah di Australia. Pada tahun 1998 ayah saya akan dipulangkan dari rumah sakit setelah selesai operasi jantung koroner, dia berpesan kepada ayah saya kalau dia tidak ingin melihat ayah saya kembali lagi. Benar juga, beberapa tahun kemudian dia meninggal karena “ditembak”. Entah benar atau tidak, tetapi kepergiannya cukup misterius.
  11. Membantu tetapi menjadi tidak membantu karena menggerutu. Saya membuat seseorang marah karena saya merasa tertekan oleh harapannya yang saya proyeksikan dari diri saya sendiri. Dan seharusnya memang tidak ada yang salah, baik saya atau orang yang sedang saya bantu. Wajar saja kalau orang yang saya bantu akan membenci saat gerutuan saya muncul spontan, betapa pun saya berusaha keras untuk menunjukkan bahwa apa yang saya lakukan tidaklah heroik… dan bahwa tidak ada yang berhutang budi kepada saya atas bantuan itu.
  12. Tentang waktu dan ruang. Kita memang bisa bertemu dengan orang-orang yang tak terduga pada waktu dan tempat yang tak terduga. The ambience does have certain identification of the sort of people to gather at one time in space.
  13. Saya baru menyadari kalau balkon mungil dari kamar tidur saya cukup indah pemandangannya. Mungkin sedikit terhalang atap rumah tetangga, tetapi langsung saja melihat ke atas dan memandangi langit. Untuk malam ini langit cerah. Dan memandangi langit, baik cerah, gelap, ditaburi bintang, atau mendung, tetap saja balkon kecil ini adalah tempat yang tepat untuk bernafas lega…

 

13 hal yang terlintas dalam pikiran saya pada hitungan beberapa menit saja. 13 bukan angka yang bagus. Tetapi bagi saya, saya telah menantang keajaiban dari angka yang tidak diinginkan atau terkutuk ini. Sama seperti presiden kita yang mempercayai kekuatan angka 9. Hei ulang tahun saya tanggal 27, berarti 2+7=9. Mudah-mudahan saya lebih beruntung dari presiden. Demam numerologi memang sedang melanda teman-teman, termasuk saya. Asal dipastikan, bukan pikiran obsesif. Saya mencoba mengirim SMS “reg <spasi> cinta <spasi> nama kamu <spasi> nama pasangan” ke sebuah layanan yang ditayangkan di televisi. Tetapi pada saat sudah terlanjut mengirim, teman saya menghina: yuhuuu how desperate are you??? Sedangkan saya sudah mendapatkan balasan SMS pertama: numerologi cinta anda 79. Waduh apa artinya??? Tidak akan pernah tahu, karena saya buru-buru mengirim SMS “Unreg <spasi> Cinta” I can not possibly be a lovefool (one too many)…