#9) “Andaikan Alam Bisa Swameditasi. (Koran Tempo, 18 Agustus 2006)

Oleh: Nova Riyanti Yusuf, M.D.

 

11 Agustus 2006 (yang sudah sangat) lalu Presiden kita dan rombongan mendatangi Porong, Sidoarjo, dan terhenyak dengan pertanyaan dari salah satu pemburu berita yang ingin mengetahui kebenaran tentang rencana —yang menurut hemat penulis, persepsi ini masih bersifat halusinatorik— penenggelaman 7 desa dalam upaya penanggulangan bencana lumpur panas. Pertanyaan ini mengesankan ulterior message, dan reaksi bapak presiden pun pasti akan mengundang analisa bebas dari pihak mana pun. Terlebih lagi bila reaksinya disalahartikan sebagai represi amarah.

Seorang pakar komunikasi (politik) Indonesia yang mengacu pada penelitian di negeri barat, berpendapat bahwa media berhak menguliti politisi, atau lebih tepatnya, eksekutor kenegaraan. Tetapi dalam paham pacifist, “pengulitan” tidaklah bijaksana dan tidak akan memberi dampak positif. Ekspektasi rakyat yang dalam hal ini disuarakan oleh vokalnya tuntutan media massa adalah suatu normalitas dan bisa jadi sarana penegakkan hak asasi kewarganegaraan, asalkan penyampaian berita ke khalayak bangsa yang sudah begitu pedih —dan tentunya volatil karena deraan bencana demi bencana— tidak hanya serta-merta bersifat panic-inducing.  

Kedua paragraf di atas menjadi intro dari sebuah realitas absolut yang bangsa ini sedang hadapi. Efek domino dari tindakan yang jelas tidak berangkat dari sebuah ketulusan dan bahkan tidak akan kita temui sampai ke dalam episentrum bumi, akan mengganggu kestabilan mental bangsa dan negara.

Lebih ironisnya lagi, bahwa setiap pagi membuka mata, kita dicekoki pemberitaan di infotainment —yang saat ini sedang heboh akan diborgol dengan fatwa haram NU— tentang pengukuhan duta-duta. Jadi ada begitu banyak duta yang kita miliki, dari mulai duta untuk urusan tetek bengek manusia, sampai duta lingkungan hidup. Mengacu pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), maka duta berarti orang yang diutus untuk melakukan tugas khusus, atau misi. Artinya, ada sebuah runutan dan rangkaian kriteria yang menjadikan figur publik itu layak terpilih, serta tugas yang diemban tentunya sangat urgen untuk mendapatkan assessment dan prosedur penanganan.

            Yang terjadi di Indonesia adalah tidak adanya finalisasi misi, tetapi semua hanya berpusar pada tangensialitas perencanaan yang tidak goal-oriented dan sebatas pada usaha membuat popular suatu institusi atau lembaga dan figur yang terpilih sebagai duta. Ada suatu mata rantai yang hilang di sini —seperti layaknya program-program lain yang berbasis wacana belaka— yaitu intensionalitas untuk memperbaiki keadaan secara general, dan secara khusus dalam pokok atensi penulis adalah membenahi destruksi alam oleh ulah manusia. Tidak pernah tertindaklanjuti, bahwa geliat alam dalam 2 tahun ke belakang, sebenarnya juga diinduksi oleh perilaku manusia yang terdistorsi oleh rasionalitas personal atau kelompok semata. Kita tidak lagi berbicara tentang kemaslahatan masyarakat secara menyeluruh.

 

Heroisme Green Peace dan mirisnya Walhi

            Bukan baru-baru saja sampah menggunung sehingga Cianjur dan Garut menolak kiriman sampah Bandung dan bukan sekejap mata terjadi illegal logging sehingga korban manusia atas kerusakan ekosistem alam pun berjatuhan.

Melongok pada tahun 1994, sebuah kapal putih yang anggun pernah merapat di pelabuhan Tanjung Priok. Rainbow Warrior namanya. Di dalam kapal itu terdapat sebuah ruangan luas yang pada suatu siang dibanjiri oleh tamu-tamu lokal yang peduli dan/atau semata penasaran melihat prosedur operasi para sukarelawan Green Peace yang terkesan nekad dan heroik. Seorang sukarelawan tampan dari Filipina pun berdiri dan memasangkan sebuah video kompilasi saat para sukarelawan melawan kapal-kapal yang tidak urung jauh kebih besar dan berlayar membawa limbah industri yang hendak ditumpahkan ke lautan lepas. Esensi dari pemutaran video ini —walau mungkin berkesan asumtif— adalah niat suci untuk mencapai suatu tujuan global, bukan semata-mata wacana tentang cara menghentikan kapal itu kemudian selesai tanpa aksi.

Menyaksikan video itu menjadi sebuah kenangan, karena lagu satir yang menjadi Original Soundtrack dari video tersebut adalah “It’s The End of The World As We Know It (And I Feel Fine)”, suatu versi kataklismik yang dilantunkan oleh  sebuah band alternatif, REM, dengan vokalisnya yang subtil, Michael Stipe.

Walhi, yang saat itu juga hadir, menghimbau bahwa sangatlah mendesak untuk menerapkan industri bersih sejak dini di Indonesia, selain harus mendesak negara-negara industri untuk melakukan produksi bersih (clean production). Tetapi apa yang terjadi, jelas-jelas 180o berbeda dari harapan Walhi, yaitu merebaknya kasus lumpur panas PT Lapindo Brantas. Diungkapan di dalam majalah Tempo, 19 Juni 2006, bahwa luapan lumpur bercampur gas panas di kawasan industri di Jatirejo, Sidoarjo, Jawa Timur, membenamkan sekitar 70 hektar sawah di tiga desa. Sebanyak 2.700 warga harus mengungsi. Asosiasi eksportir mengaku rugi Rp 1 miliar setiap harinya. Lumpur yang terus menyembur ini menutup akses jalan tol Gempol-Surabaya yang menjadi urat nadi ekonomi Jawa Timur.

Beberapa hari terakhir Jasa Marga pun nekad membuka jalan tol tersebut karena adanya kemacetan luar biasa. Tim ITS memberi peringatan bahwa jalan tol tidak layak digunakan karena perlu dilakukan penguatan tanggul sebagai dampak semburan genangan lumpur yang terus berkelanjutan.

Penduduk pun rela, atau bersedia relokasi rumah asalkan dibeli dengan harga layak karena mereka sudah lelah dan jemu dengan semburan lumpur panas yang hampir mendekati 3 bulan terhitung sejak 29 Mei lalu. Beberapa teknologi telah diterapkan, tetapi tidak ada penuntasan. Bahkan teknologi pembuangan lumpur panas ke laut yang membutuhkan dana lebih besar menjadi alternatif. Teknologi ini dianggap lebih mudah dan kemungkinan relokasi penduduk juga tidak terlalu banyak. Tidak mengejutkan apabila kelak Greenpeace akan menggugat kita secara hukum (atas keteledoran yang bukanlah dosa komunal kita, tetapi “kelompok”) atas tuduhan perusakan linkungan.

 

Retardasi peranan nurani dan Regresi nalar

Bila manusia bisa merehabilitasi kegelisahan dirinya dengan bermeditasi, maka itu adalah sebuah abilitas yang terpateri dalam fungsi luhur manusia. Alam dengan segenap ekosistemnya juga cukup mampu untuk membenahi diri, tetapi tindakan agresif manusia —seperti kerapnya penggundulan hutan karena kerakusan semata— melebihi ambang regulasi diri alam. Ini merupakan sifat sentralisme atensi diri yang bersifat seperti bumerang bagi manusia itu sendiri. Proses perusakan ini menjadi awal dari sebuah akhir bagi manusia.

Tetapi rasanya, sudah cukup ketidakpekaan kita. Kadang seorang manusia mengabaikan nurani dan kesadarannya. Manusia kerap terbodohi oleh nalarnya sendiri, tergoda oleh output menggiurkan, tetapi terbutakan sama sekali dari pertimbangan jangka panjang. Entah ini sebuah indikasi terjadinya proses retardasi peranan nurani atau regresi nalar, sehingga begitu short-sighted dan jelas gagal menganalisis suatu kondisi sebab-akibat dengan jernih.

           

Political will

Kepada siapa rakyat Indonesia harus marah, adalah pertanyaan. Menjadi tidak terjawab, saat satu sama lain saling melindungi oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Lagi-lagi, rakyat menjadi kambing hitam dari suatu konspirasi yang tidak mereka pahami. Yang mereka hayati, adalah mereka terbuang dari rumah dan sawah garapan mereka, baik karena lumpur panas Sidoarjo mau pun banjir bandang Sinjay, Sulawesi Selatan. 

Menjadi catatan hitam, bahwa ada kesewenangan dalam perencanaan pembangunan. Pengaturan akan pengelolaan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) tidaklah ada artinya jika tidak dibarengi dengan kebijakan yang berorientasi dan berwawasan lingkungan. Harus ada proses selektif dalam memilih tipe atau teknologi industri sehingga ada political will yang positif dari setiap aparat pemerintah, dan bila mungkin, pelaku bisnis, kelompok-kelompok peduli lingkungan, dan masyarakat lainnya juga ikut berperan di dalamnya.

Bukan hanya kejaksaan saja yang harus beradu kuat dalam meng-audit keuangan negara yang bisa begitu saja sembarangan keluar dari kotak besi karena ada tangan-tangan dan otak-otak nakal, tetapi juga ini menjadi momentum dari penegakkan proses audit lingkungan. Terutama sekali dari segi prosesi dan output industri serta dampaknya bagi penduduk sekitar situs industri.

Kondisi psikologis yang menyergap para policymakers kita dulu dan kini harus bertolakbelakang. Jangan lagi ada intoksikasi kenikmatan personal dan egosentris yang memabukkan sehingga menganggap sah-sah saja terjadi disinhibisi perilaku yang berujung pada improper governance. Revolusi intensionalitas harus dimulai pada detik ini juga.

 

#10)Empathic Attunement dan Pancasila.”  (Koran Sindo, 10 Oktober 2006)

Oleh: dr. Nova Riyanti Yusuf

 

            Hampir dua minggu pasca gempa Yogya-Jateng mendera dan tentunya, segelintir dari kita, sudah merasakan lelahnya menjadi sukarelawan sebagai integrasi tidak utuh dari penanganan masa tanggap darurat. Lelah, apakah itu kata yang paling tepat untuk menjelaskan suatu kondisi ironis dalam penanggulangan bencana alam? Lelah, menjadi kata yang begitu pamrih dan tidak sedap didengar?

            Dengan introspektif, penulis ingin menjungkirbalikkan makna “lelah” sehingga kata ini pun bertelanjang tanpa makna. Pertama, lelah karena transportasi yang sempat penuh sesak menuju Yogyakarta sehingga sontak saja tarif airfare dari beberapa airline melonjak tanpa malu-malu. Kursi-kursi pun tidak kalah ramai diperebutkan oleh para petinggi negara dan wakil rakyat yang ingin “jalan-jalan”, persis memalukannya seperti kursi parlemen yang diperebutkan oleh orang-orang tanpa ide. Dan korban gempa pun menjerit dengan slogan jitu: KAMI TIDAK TERIMA TURIS, KAMI SEDANG BERDUKA!

Jalan darat, seperti kereta api, pasti akan menjadi opsi. Kemudian banyaklah yang dengan semangat memilih untuk mengendarai mobil saja sekaligus membawa logistik. Walau pun, perjalanan syahid ini akan memakan waktu hampir 14 jam dengan terrain yang tidak bersahabat dan rawan kecelakaan. 

            Kedua, pada saat perjalanan darat itulah, maka tampak betapa stagnannya perkembangan di negara Indonesia ini. Rumah-rumah penduduk antara Jakarta-Yogyakarta-Jakarta yang menghiasi pinggiran jalan, begitu bisu, sunyi, statis, menyelang-nyelingi saja sawah-sawah yang begitu hijau menghampar.  Mobil pun berguncang karena lubang-lubang yang berdiameter lebar dan dalam hampir di sepanjang jalan. Dalam guncangan karena lubang-lubang itu, menjadi analogi atas suatu kondisi, bahwa itulah turbulensi yang dirasakan rakyat Indonesia. Turbulensi yang dahsyat, sehingga kabin pun seolah mengalami dekompresi dan “sakitnya” lagi, tidak ada suplai oksigen yang adekuat untuk memulihkan otak yang hipoksia atau kekurangan oksigen. 

            Kelelahan yang ketiga, bahwa setibanya di Yogyakarta yang biasanya setiap malam begitu semarak dengan nafas hidup dan menjadi perlambang dari kota budaya mistikal milik Indonesia, telah menjelma menjadi seonggok pria priyayi yang telentang pasrah dengan nadi melemah nyaris tak teraba. Satu dua manusia masih berkeliaran di tepi jalan. Tak sengaja, seorang sineas film senior Indonesia yang begitu terkenal tampak sedang mendokumentasikan suasana sunyi malam itu. Rupanya, rumah kontemplatifnya yang terletak di daerah Candi Plaosan tidak luput dari goncangan gempa. Ujarannya yang legowo bisa diinterpretasikan, bahwa dalam keterpurukan akan hilangnya materi yang menjadi internalisasi dari memori dan masa, ada kepedihan yang menangkis kepedihan personal itu, yaitu kepedihan kolektif.

Ya, dengan mata hati melihat mereka yang “terusir” dari rumah hidupnya dan harus berjejalan di bawah tenda panas yang kurang layak menjadi tempat penampungan, tentunya menjadi pelipur lara bahwa mereka jauh lebih sengsara dari sineas ini. Perlu “dijejali” di nurani, bahwa intervensi awal kesehatan jiwa pascabencana, adalah memberikan perlindungan serta penampungan yang aman dan nyaman bagi korban sebagai suatu simbolisasi kehangatan, betapa pun hal itu sangat insidentil dan temporer.  Bukan tenda murahan yang tidak manusiawi.

 

Ke Mana Kita Akan Berlari?

            Adalah suatu respon natural, bila seorang pemimpin memunculkan mekanisme defens diri berupa arogansi saat dihadapkan pada suatu kondisi kritis. Adalah suatu kewajiban, bahwa seorang pemimpin, tidak meringis ketakutan di depan rakyatnya. Adalah suatu titah humanisme sempurna, bahwa seorang pemimpin tidak menyelamatkan diri sendiri sebelum rakyatnya pasti selamat.

            Bantul dan Klaten adalah kabupaten-kabupaten yang mendapat dampak terparah karena ditaklukan oleh gempa. Dan menyaksikan Bupati Bantul begitu concerned dan tanggap akan urgensi pemulihan psikologis warga Bantul sebagai agenda prioritas Bantul, perlu diacungkan jempol. Bahkan buah pikirnya yang sempat terlintas untuk menghentikan bantuan setelah sepuluh hari pasca gempa, sangat mencengangkan. Di tengah kerumunan media-media asing, dengan sepasang mata yang lelah, penulis pun berandai-andai sedang dalam posisi bapak bupati. Rumah dinasnya, memang masih kokoh. Dengan langit-langit yang tinggi menjulang khas peninggalan Belanda, tetapi ventilasi tidak dirasa cukup karena seluruh halaman, pelataran parkir, padepokan, toilet, serba dipadati oleh sukarelawan-sukarelawan. Individu-individu lintas agama, lintas partai, lintas negara, lintas profesi, lintas hasrat, dan lintas intensionalitas, tumpah ruah di rumah dinas Bupati Bantul.

            Gempa menjadi hentakan masif, yang menyadarkan siapa pun juga, bahwa setiap langkah ke depan, bisa saja menghunus kita untuk mundur puluhan langkah ke belakang. Suatu regresi menjadi tidak terhindarkan, bila manusia dihadapkan oleh tingkah polah alam. Kabupaten Bantul yang dipimpinnya, adalah salah satu kabupaten yang menduduki 100 besar Indeks Pembangunan Manusia, dari 440 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Bayangkan kita dalam posisi bapak Bupati? Ia akan merasa “sendiri”.

 

Empathic Attunement bagi Rakyat   

Isu penjarahan meresahkan para “calon” sukarelawan yang sudah berada di lapangan. Apalagi bagi mereka yang dengan segenap nyawanya, berangkat dengan tas ransel, dan logistik seadanya. Tanpa birokrasi. Tanpa bendera. Tanpa apa pun, kecuali hati yang masih percaya dengan prinsip kemanusiaan.

Rakyat Indonesia —dengan atau tanpa gempa— alih-alih menjadi subordinat sebuah negara yang semakin jelas saja kondisi neurotik-nya, yaitu  negara yang mengandung di dalamnya manusia-manusia dengan Mass Desperation, dan hal ini wajar saja bila diakibatkan oleh cekikan, kungkungan, dan dera derita.

Tidak terlambat untuk mengatakan bahwa yang dibutuhkan rakyat saat ini adalah empathic attunement, atau kemampuan untuk berlomba-lomba menyelaraskan dirinya dengan pengalaman-pengalaman subyektif rakyat. Upaya humanis ini harus beresonansi dari siapa pun juga, baik dari skala newsmakers sehingga decision makers. Walau menyesakkan bahwa “sesungguhnya” rakyat urung menjadi bagian penting dari konstelasi struktur negara, tetapi lebih sebagai obyek penderita. Akibatnya terjadi defek yang begitu berat pada struktur self rakyat, sehingga sendi-sendi pemerintahan harus sesegera mungkin bahu-membahu untuk memulihkan self mereka supaya kembali utuh, intak, dan teregulasi dengan baik fungsi afektifnya dalam upaya pencegahan radikalisme dan histeria massa.

Reaksi alamiah, berupa jeritan atas derita, sering diidentifikasikan dengan radikalisme. Memang hampir tidak ada bedanya. Hanya saja, radikalisme adalah sesuatu yang mengakar. Dan apakah kelaparan di Indonesia sudah demikiran mengakarnya atau —mudah-mudahan saja— hanya pasca bencana. Walau kita tidaklah sebodoh itu atau sekeji itu menutup kelima indera demi tidak tahu apa-apa yang menjadi sebab-musabab radikalisme massa. Di sini, assessment derita rakyat menjadi PR besar supaya bisa menyingkapkan kabut gelap yang selama ini mengaburkan agenda bangsa.

 

Hadirnya Pancasila

            Kita tidak tahu kita berperang dengan siapa.  Seperti seorang dokter bedah yang mengoperasikan pasiennya di meja operasi, ia berjuang menyelamatkan nyawa, tetapi dia pun gundah mempertanyakan fungsi dan makna eksistensinya, “Dengan siapa aku ini berperang? Dengan Tuhan-kah?”

            Kulit bumi yang bergetar adalah sebuah metafora kondisi perputaran. Sesuatu yang berpusing-pusing. Perputaran itu pun akhirnya mengerucut ke dalam kelam. Perlukah kita sejauh itu menghampiri kelam? Seorang petugas di kantor dinas bupati Bantul, dalam teriknya matahari dan debu, sempat menyatakan urgensi hadirnya kembali Pancasila dalam derap langkah Indonesia. Menariknya, ia rasakan desakan ini pasca gempa.

            Dari ketidak bermaknaan kata “lelah” versi penulis, maka munculah sebuah ide bahwa Pancasila kembali bermakna. Tanpa menjadi Soekarnois, Pancasila memang tampak menarik untuk menyatukan kembali seluruh elemen nasional, supaya saat Indonesia kembali dilanda bencana alam (semoga tidak), ada kesatuan makna dalam setiap aksi. Sedangkan saat ini ada vacuum of existence & meaning yang melanda petinggi-petinggi kita.

            Menyambut kembali Pancasila, kita jadi bertanya-tanya, apakah bangsa kita ini memang pernah menjadi negara gotong royong yang diejawantahkan oleh Soekarno? Ada suatu penistaan, sehingga apa yang dikatakan seorang Soekarno, tentang kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi, keadilan sosial, dan ketuhanan, tidak pernah diimplementasikan.

            Apa lagi yang bisa kita harapkan demi munculnya persatuan ideologi kecuali Pancasila yang sebenar-benarnya embedded sejak kita terlahir, tetapi kita menjadi anak durhaka atas ideologi yang sejak kecil kita hafalkan kelima sila itu dan dengan ogah-ogahan kita lafalkan saat upacara Bendera hari Senin. Memalukan sekali, kita semua “mantan” kacung dari ritualisme “berkomat-kamit”, bukan substansi yang terinternalisasi dalam nurani. 

 

 

#11) REGENERASI (majalah Djakarta! No.106, 21 April 2008)

By: Nova Riyanti Yusuf

 

          Hidup bisa bergulir terus, tetapi tidak selalu setiap detik hidup menjadi bermakna. Kadang, keharusan rutinitas untuk memelihara hidup harus dilakukan terus-menerus. Salah satu yang paling membuat enggan, adalah tes rutin kesehatan. Enam bulan sekali memeriksakan diri untuk memastikan tubuh bebas penyakit atau setidaknya terdiagnosis dini apabila memang ada penyakit.

          Namun, adakalanya manusia tidak ingin penyakitnya terdeteksi. Alasannya macam-macam, namun kita coba beberapa asumsi saja: 1) takut mati, 2) takut sejarah hidup terbongkar, dan 3) takut penyesalan telah gegabah menyia-nyiakan hidup.

          Takut mati. Dulu di sebuah tulisan, saya mengatakan bahwa mati dan hidup hanya dipisahkan oleh garis tipis peristiwa. Bisa saja sedang rakus melahap daging-daging bakar di sebuah restoran Jepang dan hampir tersedak salah satu bongkahan daging sementara teman makan kita juga sibuk membakar dan melahap sampai-sampai lupa memperhatikan kita. Namun takdir bisa menjadi palu yang menentukan kapan harus dilketuk dan tidak. Mati atau tidak. Kalau masih ada umur, bongkahan daging itu akan terlontar keluar dari pucuk esophagus dan meninggalkan kita tersengal-sengal karena terkejut namun pada saat bersamaan lega tidak jadi mati tercekik bongkahan daging. Menjadi jelas, bukan matinya saja yang menakutkan, tetapi proses kematian itu yang menghantui. Apalagi proses kematian dengan sakit yang begitu payah dan tidak tahan melihat tatapan pilu orang-orang yang kita kenali dan kita juga ketahui dengan pasti bahwa berikutnya bisa jadi giliran dia.

          Takut sejarah hidup terbongkar. Ada yang namanya gangguan somatisasi. Gangguan jiwa yang bermanifestasi dalam bentuk keluhan-keluhan fisik. Menurut sebuah kitab kriteria diagnosis, keluhannya bisa berupa: 1) empat gangguan nyeri pada empat lokasi yang berbeda (bisa kepala, perut, punggung, pada saat kopulasi atau buang air kecil, dan sebagainya), 2) dua gangguan pencernaan, seperti mual, kembung, dan lain-lain, 3) satu gejala seksual, misalnya gangguan ejakulasi, haid tidak teratur, dan lain-lain, dan 4) satu gejala pseudoneurologis seperti lumpuh atau kelemahan setempat, gangguan menelan atau seperti ada benjolah dalam kerongkongan, atau yang lainnya. Saya selalu menyebutnya gangguan 4211. Yang belum terjawab adalah hubungan sejarah hidup dengan gangguan 4211.

          Bisa saja seseorang merasa menjadi pendosa dengan perjalanan hidup yang sudah ditempuhnya. Tetapi bisa juga keluhan-keluhan fisik yang dideritanya bukan disebabkan langsung oleh dosa-dosa fisiknya. Justru keluhan-keluhan fisik yang muncul adalah manifestasi hukuman psikologis atas dosa-dosa fisik yang telah diperbuatnya.

          Takut gegabah telah menyia-nyiakan hidup. Bila, terbukti bahwa berbagai pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh dokter atas tubuhnya, menghasilkan rangkaian diagnosis yang akan menjadi prediksi atas berapa lama tubuhnya akan bertahan hidup, maka kira-kira akan berakibat apa pada saat mendengarnya. Dengan jumlah manusia yang semakin banyak dan mungkin agak terlambat untuk program keluarga berencana, tentunya tidak banyak rencana yang bisa dibuat ke depan. Bukanlah suatu pengarahan pesimis, justru realis. Bergerak saja sudah sulit dengan begitu banyak manusia lain yang juga bergerak. Semakin bergerak bersama-sama maka akan semakin sulit untuk menikmati dalam keleluasaan. Yang ada sikut-menyikut, curiga-mencurigai, dan saling menjatuhkan. Sudah menjadi prediksi bahwa manusia akan menggerogoti sesama manusia. Lalu, sentimentalisme bisa melanda. Andaikan lebih menghargai hidup selama ini. Masa depan sudah pasti terasa penuh sesak oleh problem massal. Artinya masa depan juga tidak terlalu indah bila dijalankan walau fisik sehat. Tapi sedihnya juga, jika deteksi dokter tidak terlalu menggembirakan, maka akan muncul penyesalan telah gegabah menyia-nyiakan hidup dan bukannya merayakan hidup yang sangat pendek dan hanya satu kali. Sakit atau tidak, penghayatan waktu adalah keharusan dalam hidup.

          Tidak ada maksud tulisan ini untuk menyebarkan kegelapan dalam pikiran siapa pun yang membacanya. Saya pun tidak berharap pada saat saya menemani ibu saya periksa papsmear ke seorang dokter spesialis kebidanan & kandungan, ia akan menyemangati ibu saya untuk tetap memelihara hidup dengan hidup teratur dan mengatur pola makan karena kelak dalam 10-20 tahun ke depan sains akan memungkinkan tubuh manusia untuk regenerasi. Selama ini saya kira hanya dr.Mohinder Suresh dan ayahnya yang begitu yakin dengan teori dan bukti empirik dari regenerasi sel-sel tubuh manusia.

 

 

#12) ETALASE (majalah djakarta! No.107, 7 Mei ’08)

By: Nova Riyanti Yusuf

 

          Hari Rabu, tanggal 16 April 2008, berkumpul sekelompok orang di sebuah tempat bersejarah di daerah pusat Jakarta. Gelap sudah menyelimuti, berperang dengan keramaian lokal dan satu dua kali getar kereta api yang masih berderu-deru. Memang direncanakan, bahwa pertemuan ini harus terjadi di tempat bersejarah tersebut. Ada sebuah harapan, sebuah sejarah hibrida baru bisa tercikal dari sana. Sentimen ini muncul karena sekitar satu tahun silam, ada sebuah detak —yang walau hanya sejenak saja muncul saat pertama kali menginjak tempat itu, berupa rasa jatuh cinta atas misteri dan esensi rasa seperti gairah malu-malu karena diselimuti rasa takut atas misteri itu sendiri. Jika tidak karena hantu, maka terhantui oleh kisah yang pernah melintas di sana. Spionase Mata Hari dan penjajah Westerling konon berada di sana.

          Dengan latar belakang tersebut, strategi ini pun berhasil. Semua calon pembicara hadir. Dan mereka adalah Sandiaga S.Uno, Budiman Sudjatmiko, Goenawan Mohamad, Garin Nugroho, dan M.Fadjroel Rachman sebagai moderator. Buku saya hanya sebagai impetus hadirnya mereka. Terlintas dalam pikiran saya untuk mengundang mereka karena terinspirasi penobatan 3-dari-mereka sebagai pria-pria seksi versi majalah PRODO 2007. Edhie Baskoro Yudhoyono yang masih terbilang inosen pun hadir didampingi pria-pria bersafari. Tamu-tamu yang tidak kalah penting juga hadir. Derajat pentingnya berangkat dari keberakaran mereka dengan bidang yang mereka geluti —baik keagamaan, penghargaan tertinggi terhadap nilai estetika makanan, kegundahan atas disiplin partai politik pilihannya, kesetiaan atas budaya, kemungkinan geliat resah atas nama besar ayah, pengusaha dengan citraan sempurna, wartawati senior, dan masih banyak lagi permaknaan lain “penting”, tentunya tanpa mereka harus diberi label sebagai: socialite, lantas layak menjadi penting. Bagi saya, mereka penting. Mungkin yang diberi label socialite dan foto-fotonya terpampang dalam majalah-majalah elite-by-unknown-force justru belum tentu penting.

          Substansi malam itu: banyak orang penting menontoni beberapa orang penting. Semacam etalase kelas berat. Namun dengan segala kekurangan dan kelebihan yang berada, justru telah terjadi proses penyeimbangan.

          Penting dan penting, tidak harus menjadi ekualitas penting kuadrat dua —seperti E=mc2, yang menurut Mariah Carey dibaca Emancipation equals Mariah Carey times two. Rupanya peraduan yang penting dan yang penting, akan saling menilai kadar “derajat penting” masing-masing dan belum tentu dapat menguasai diri dengan keyakinan atas “derajat penting” dirinya sendiri. Tetapi rupanya, tertawa yang membahana dari panggung etalase dan deretan penikmat etalase, bisa juga menjadi pelipur lara.

          Letargi itu tidak terpungkiri. Dulu saya sadari, saya tertawa kadang sebagai mekanisme pertahanan diri dan hal tersebut, positif dan matur. Namun tawa berakar letargi yang membahana dalam ruang sehingga memekik dan menusuk ke akal sehat, menjadi tanda tanya besar: kenapa saya tertawa? Kenapa mereka, juga tertawa? Atau menjadi retorik: ternyata bukan saya saja yang tertawa.  

          Setelah acara berlalu, berbagai reaksi muncul. Kritik, pujian, apresiasi, kekhawatiran, kecemburuan, dan lain-lain. Namun yang paling penting, malam itu disebut Goenawan Mohamad sebagai fun soiree. Saya pun menjudulinya sebagai pesta VIP atau Very Idiosyncratic Party. Saya dan sahabat saya —yang bersusah-payah membuat acara itu sangat distingtif dan mirip pesta kostum tanpa prasyarat kostum, justru baru merasa kelelahan 2 hari setelah acara itu, sampai-sampai menu brunch yang tadinya hanya berupa menu sarapan kaya protein bertumpuk dengan menu steak. Lapar mata, haus hati.         

          Etalase memang pencetus penyakit mata dan hati. Baik bagi etalase itu sendiri, maupun bagi penikmat atau pencemburu etalase.

          Semakin tinggi “derajat penting” seseorang akan menjadikan orang tersebut etalase yang secara imperatif harus menjadi pembius sesaat sehingga segerombolan massa menghentikan langkahnya untuk menikmati sajian etalase tersebut. Reaksi bisa berupa decak kagum, cemooh, atau marah-marah. Kagum karena indahnya, mencemooh karena ternyata tidak sesuai harapan, atau marah-marah karena kagum tak berbalas sesuai harap. Reaksi itu kadang-kadang mekanisme pertahanan diri si penikmat, dan tidak serta-merta salahnya etalase.

          Sebagai bagian dari etalase, seseorang harus berkompromi dengan disiplin diri, perancang etalase, dan penikmat etalase.

          Berbicara “bagian”, artinya ada bagian-bagian lain yang ikut menyusun menjadi satu kesatuan etalase. Dan di sini kemampuan berinteraksi, berbicara yang tepat, pola interaksi cerdas, dan ambang negosiasi bertumbukan, dahi ke dahi. Hanya saja tentu tidak kelihatan dahi dan dahi benar-benar saling beradu disertai geraman suara.

           Saya terbiasa mengingatkan diri saya sendiri bahwa manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk individual. Maka dari itu, manusia secara ikhlas membiarkan dirinya terjebak dan terikat, oleh simpul-simpul lepas yang sebenarnya masih bisa ia longgarkan dan lepaskan. Tetapi sungguh tergantung pada bunga kepribadian masing-masing individu juga, ada yang cepat sadar dan melepaskan diri dari simpul, ada juga yang begitu saja membiarkan dirinya terjerat simpul mati.

          Seperti hipotesis yang berujung kesimpulan. Maka peristiwa, mau tidak mau berujung pada dampak. Sering, manusia tidak kuat untuk menghayati “dampak” yang telah ia perbuat dengan menghadirkan peristiwa atau momentum. Lompatan bisa meluncur seperti parabola menuju ke langkah berikutnya lagi yang jauh. Dari peristiwa ke peristiwa. Momentum ke momentum. Penghayatan pasca momentum sering membuat takut. Atau mungkin hanya saya yang se-idiosinkratik itu.

 

[23.04.08]

Untuk TR

 

 

#13) My Secret Identity (majalah djakarta! No.108, 21 Mei 2008)

By NoRiYu

 

          Protokol untuk memulai wawancara psikiatrik diawali dengan pencarian data dasar identitas pasien, yaitu nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status, agama, suku, dan alamat. Paling tidak saat pasien merasa gerah ditanya-tanya, seorang psikiater bisa berkilah pelengkapan data tersebut untuk alasan melengkapi status pasien. Profesional saja.

          Lain ceritanya dengan dalam kehidupan sehari-hari. Identitas seseorang sangat krusial sampai-sampai menjadi hambatan dan bukan sebaliknya menjadi sarana pemahaman seseorang.

          Tiap detil identitas bisa bertutur sendiri atas makna dan dampak yang dimilikinya. Seperti nama. Saya pernah jatuh cinta hanya karena membaca nama seseorang yang tertera di papan namanya saat dinas di rumah sakit. Tadinya saya tidak berpikir apa-apa, sampai tiba-tiba saya melihat sebuah nama yang unik. Nama India, wajah tidak sedikit pun India. Saya pun mulai memandangi wajah yang empunya nama dan dengan setengah memaksa berpikir bahwa, ‘boleh juga niy orang.’ Entah karena memang ‘boleh juga’ atau nama itu yang sudah terlanjur merasuki saya. Yang pasti komentar Goenawan Mohamad, ‘Just for a name??’ atau seperti kata teman saya, Taufik Rahzen, ‘Berarti nama saya kurang seksi’.

          Soal suku. Jatuhnya bisa rasisme. Tapi tidak juga. Pengalaman, penghayatan, dan trauma bisa menjadi penghambat dari kelegowoan seseorang menilai lantas menerima suku orang lain. Suatu keluarga yang pernah saya temui, sangat alergi dengan suku tertentu hanya karena ayah mereka galak karena perangainya berasal dari suku tersebut. Anak-anak lupa bahwa mereka juga mewarisi perangai tersebut. Sang ibu bisa sangat kaku dan menolak pria dari suku yang sama dengan suaminya untuk mendekati sang anak gadis karena paranoia pengalaman pribadi. Wajar juga, tapi sedikit banyak menghambat hak anaknya untuk menghayati penderitaan versi mereka. Atau justru sebaliknya, mungkin juga mereka bisa berbahagia.

          Tentang status. Suatu ketika sepasang pemuda ingin memajukan dirinya secara independen dalam pilkada sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur. Lucunya, pemuda cawagub urung maju karena ragu dengan status pernikahannya. Ternyata di KTP tertera: status duda cerai. Mungkin karena daerah rumahnya elite, sedangkan setahu saya kalau daerah perumahan tidak elite biasanya status perkawinan tidak tercantum. Entah pemuda ini krisis percaya diri dengan status duda cerainya atau sebaliknya, ini pikiran yang normal, atau justru Syaiful Jamil (*mohon maaf kalau ada kesalahan ejaan nama) yang normal.

          Lain lagi dengan agama. Konon saat orang berteman di dunia yang demokratis, tidak pandang agama dan kepercayaan yang dianutnya. Dari mulai Pagan sampai aliran Ahmadiyah tentu tidak akan dihiraukan, karena teman sejati menerima teman apa adanya. Baik absurd atau ajaib. Namun ‘agama’ bisa menjadi kendala saat timbul benih harapan dari sepasang manusia yang akan membina hubungan lebih dari sekadar pertemanan. Tepatnya, pacaran. Kalau pacaran, bisa berakhir putus, ngegantung, mati karena bunuh diri atau dibunuh pasangan, dan bisa juga, sampai pernikahan atau dipisahkan oleh ajal. Akan tetapi, agak wajar bila sebelum memulai semua drama, agama seseorang akan dipertanyakan karena kelak akan membutuhkan persetujuan keluarga, sampai ke jenjang prosesi pernikahan, dan penyesuaian adat ritual. Kisah agama bisa menjadi lebih panjang, karena saya ingat teman saya yang pernah heboh menyukai seorang laki-laki dan melancarkan aksi pra-PDKT hanya untuk mengetahui agama si laki-laki. Toh dia pun mundur beberapa langkah begitu mengetahui si laki-laki menganut agama yang berbeda. Untungnya ia terbiasa untuk menghindari masalah sebelum perasaan mulai meracuni akal sehat.

          Latar belakang pendidikan saya, menjadi berkah dan saat bersamaan menjadi harapan semu bagi orang lain. Saya rasa saya telah berkali-kali mengecewakan orang yang sempat berkata pada saya, ‘Kamu memahami saya.’, ‘Kamu harus menemui saya.’, ‘Kamu harus mendengarkan saya.’ ‘Kamu harus menerima telfon saya.’ Kalimat-kalimat itu ada yang sampai dalam kemasan teror, obsesi, atau ketulusan. Tentu, saya hanya menerka karena saya tidak pernah mencaritahu wujud yang mana sebenarnya yang sedang saya hadapi.

          Pekerjaan pun pernah merepotkan saya. Suatu ketika di sebuah kafe pada hari minggu yang sangat sepi, saya dan keponakan-keponakan sedang bersikap konyol bahkan sampai ke toilet. Persis seperti adegan dalam film warkop DKI, kita bertiga keluar dari satu toilet secara berurutan. Giliran terakhir saya yang keluar sambil masih terbahak-bahak. Seorang perempuan menunggu dan bertanya, ‘Di dalam ada dua toilet ya?’ Saya tertegun atas asumsi perempuan itu. Tentu saja, bila tiga orang berada dalam satu toilet bersamaan, setidaknya ada dua dudukan toilet di dalam. Dia buru-buru melanjutkan dengan bertanya, ‘Kamu Nova yang penulis ya? Sori tadi nguping waktu kamu bahas blog di meja sebelah.’ Saya semakin tertegun dan menyadari, mungkin sudah saatnya saya ja-im di tempat umum.

Masih banyak lagi cerita-cerita seputar identitas yang ternyata menjadi bumerang bagi yang memiliki identitas tersebut. Tetapi sebaiknya memang, identitas tetap menjadi kebanggaan si pemilik. Bagi saya, saya tetap masih ingin mempunyai identitas rahasia dan memiliki kekuatan superhero seperti dalam serial jaman dulu, My secret Identity.

 

[23.05.08]

Untuk AGR, setahun yang lalu.

 

 

 

 

#14) This Early, That Desperate. (majalah djakarta! No.109, 7 Juni’08)

By: Nova Riyanti Yusuf

 

            Penghayatan detik.

            Seseorang boleh tampak kuyu saat memasuki ruang aktivitas. Seseorang boleh tampak rapi dan membuat sirik si ‘kuyu’. Tapi biasanya, hati yang kuyu akan terefleksi juga pada tampilan luar, seberapapun kuatnya lapisan-lapisan di bawah kulit menyembunyikan.

            Ritual pagi adalah sebuah drama personal yang menarik.

            Terlepas dari seseorang sebagai orang yang berorientasi keluarga atau individual, penghayatan pagi bisa menjadi suatu cerminan diri yang paling valid.

            Tidak harus seseorang yang tampaknya sangat dihargai atas segala-gala pencapaiannya, lantas dia ‘waras’ di pagi hari. Posisi menungging karena menolak pagi yang mengingatkan akan seabreg rutinitas. Dan darah yang mengalir dari bokong ke kepala, akan segera membuatnya cukup cerdas untuk mencari-cari cara menghindari hari. Atau mendapatkan kesempatan langka, terbangun dalam keadaan rumah yang sepi. Untuk sesaat sok menjadi robot ritual yang menyeduh teh hangat dekaf (tidak lagi kopi dengan kafein) dengan dibubuhi gula diet sedikit saja. Kemudian duduk membuka laptop dan memastikan pekerjaan-pekerjaan yang harus dibawa ke dalam harinya. Namun menyadari, berkah sepi, tidak harus diabaikan.

            Ada sebuah keinginan untuk menjadi diri sendiri, tetapi ketakutan satu detik ini akan mengemuka menjadi kebiasaan yang tidak bisa ditolerir oleh segenap keluarganya. Padahal tidak setiap saat seseorang bisa mendapatkan wahyu.

Jika untuk membahas pagi saja, kita juga membahas wahyu… apalagi siang, malam, satu hari penuh.

            Pagi sakral saya justru dinodai oleh keisengan saya membaca sebuah buku yang tidak penting. Parahnya lagi, saya tidak tahu bahwa buku yang tampilan cover-nya tampak pragmatis-non-filosofis juga mengutip Kahlil Gibran, bahwa si Kahlil ini melukiskan posisi emotional attachment seorang anak dengan ibu sebagai berikut: kata paling indah yang diucapkan seseorang adalah kata “ibu”, dan sebutan paling indah adalah sebutan “ibuku”.

            Konsumsi paling berbahaya di pagi hari, ternyata bukan kopi sarat kafein, justru buku Kahlil Gibran. Terang saja Kahlil (we’re still on the first-name basis), hanya diposisikan sebagai anak yang memanggil ibunya dengan sebutan “ibu”. Kahlil tidak pernah dalam posisi yang mempertanyakan, “Apakah saya akan menjadi ibu yang melahirkan bayi melalui vagina saya (atau boleh juga sectio caesarea)?” atau “Apakah saya akan menjadi ibu yang baik?” Pertanyaan-pertanyaan yang berkadar dosis letal.

            Dalam buku kumpulan esai saya yang pertama, Libido Junkie, alam bawah sadar saya masih mempertanyakan keberanian saya untuk melalui proses mempunyai anak atau keinginan ke bank sperma untuk memilih pendonor terbaik bagi calon anak saya kelak yang juga akan dititipkan pada surrogate mother. Kemudian dua tahun berselang, muncul buku kumpulan esai saya yang kedua, Stranger Than Fiction, dan di dalamnya saya berdamai dengan kodrat sebagai ibu. Yang artinya, saya tidak sabar ingin menjadi ibu atau sibuk sok jadi “ibu” dengan menyandera keponakan ke mana pun saya pergi dan setiap ditanya orang mengatakan, “Ini anak saya.”

Lucunya, ketika saya berdamai dengan konflik internal, justru muncul reaksi ketidaksukaan karena ide-ide saya dalam buku tidak lagi nakal, tidak lagi menentang kodrat, dan tidak lagi ber-asal-asal-an dengan teori-teori kejiwaan. Tentu reaksi ini tidak harus menjadi konflik eksternal.

            Secara personal, berdamai dengan konflik internal tidak kalah berbahayanya dengan menantang konflik internal. Penerimaan jadi bertumbuh dengan proses logika untuk mencari solusi.

            Penghayatan pagi yang asyik telah ternodai dengan perdebatan dalam kepala tentang filsafat hidup. Bergeserlah sedikit ke boombox dan nyalakan lagu Pearl Jam sekencang-kencangnya. Jingkrak-jingkak sedikit juga dapat melancarkan peredaran darah. Gila, it’s Pearl Jam. Tidak mungkin tidak menenggelamkan nestapa dalam alunan lagunya. Apalagi, bagi remaja dan siapa pun yang masih juga krisis dunia intenal dan eksternal, lagu Daughter akan berempati pada harapan dan realita yang kontradiktif. Rasa capek itu akan senantiasa terlunturkan dalam beberapa menit saja.

            Dan sebelum pusing meratapi nasib karena peran sebagai ibu tidak kunjung datang —atau disesuaikan dengan kutukan pagi masing-masing, mungkin hayati dulu lirik ini: “Don’t call me daughter, not fit to me.” Menyadari ketidakbertanggungjawaban di atas adalah suatu pertanggungjawaban yang sebenarnya.

 

[06:00 a.m.]

           

#15)

Butt-Naked (majalah djakarta! No.110, 21 Juli’08)

Oleh: Nova Riyanti Yusuf

 

          Seminggu ini sarat dengan tema tentang ‘kepergian’. Suatu malam, saya sudah bersiap tidur dan melanggar kaidah higiene tidur karena memasang televisi sebagai bentuk gangguan fisik yang akan mengganggu kualitas tidur. Tampillah wajah Colin Hanks dalam film Orange County. Bukan maksud menceritakan ini dari kacamata movie freak, tetapi film ini menceritakan semangat gila si Colin untuk melanjutkan sekolah di Stanford untuk mempelajari creative writing. Itu adalah cerminan diri saya, 13 tahun yang lalu. Stanford university dan creative writing. Relevansinya dengan rasa frustrasi delinkuen saat itu karena ada dua hal. Pertama, ketiga sahabat saya akan melanjutkan kuliah ke Amerika dan Australia. Kedua, saya terjebak sendirian di Jakarta dengan berjudi masa depan (memilih kuliah kedokteran pada detik-detik terakhir untuk merangsang adrenalin) sedangkan ketiga kakak dan ketiga sahabat melanglang dunia menjalankan mimpinya masing-masing.

          Minggu ini, terjadi lagi. Kepergian dan perasaan sepi. Suatu hari di kamar kos seorang sahabat pada masa SMA di Tarakanita, kita berempat sedang mengacak-acak rak CD dan majalah. Tiba-tiba salah satu dari sahabat bertanya, “Lebih sedih mana, ya? Ditinggal atau meninggalkan?” Saya berasumsi bahwa sahabat ini berbicara tentang ‘ditinggal mati’ dan ‘mati’. Padahal yang ia maksudkan adalah ia akan pergi jauh kuliah ke Seattle sedangkan pacarnya di Jakarta. Impulsivitas pikiran saya tersebut pada akhirnya menghantarkan saya untuk terbiasa dengan kepergian hidup dan mati. Bagian dari pengalaman hidup yang sangat dekat dan harus terus-menerus dihadapi.

          Masih dalam alur tema kepergian, beberapa hari yang lalu saya pun mengulangi suatu episode cerita lain hidup saya 12 tahun yang lalu. Saya berada di dalam bioskop sendirian. Awalnya saya tidak sendiri. Kita berangkat berlima dalam satu mobil, tetapi pada saat berdiri di depan ticket box, film Get Smart sudah diputar sehingga hanya saya yang bertahan memilih Sex & The City. Diiringi dengan ritual keempat anak kunyuk melambai-lambai pada saya yang akan memasuki ruang teater 3 sambil berteriak-teriak, “Ati-atii, yachhh?? Daggg!!” Dan wajah mereka sangat sumringah. Persis seperti suasana mau boarding ke dalam pesawat terbang. Atau naik kereta api di stasiun.

Terlepas dari magisnya film ini, bahwa kita yang berada di dalam teater 3 akan sekejap merasa tidak sendirian karena keempat teman yang ada di layar dan segenap penonton lainnya (para gay, perempuan-perempuan, fashionista, dan lain-lain) seolah menjadi sahabat instan karena saling memahami jalinan cerita, kehangatan, dan pastinya carrie-d away dengan suguhan fashion dalam film Sex & The City. Ya, terlepas dari persahabatan instan tadi, menonton sendirian ternyata menghadirkan kembali suatu episode masa lampau dalam benak saya. 12 tahun yang lalu saya menonton film (kalau tidak salah judulnya Snow) sendirian di sebuah teater. Dan itu adalah pengalaman paling menyiksa sehingga saya bersumpah tidak ingin mengulanginya lagi. Selain karena ada sepasang manusia yang menjijikan di samping saya (Yang perempuan flu berat tetapi memaksa memeluk pacarnya.), peristiwa itu terjadi pasca putus. Saya sempat kecanduan Dolores O’Riordan dan nekad memotong habis rambut ala Dolores sewaktu ke Singapura. Dan sebagai dampak kausalitas dari seorang male chauvinist sejati yang insecured, saya diputusin karena tidak laporan dulu mau membabat rambut.

          Pada saat kita dalam suasana ‘kepergian’, segala sesuatu yang menyedihkan di masa lalu bisa muncul lagi sebagai flashback atau re-experiencing. Seperti menyadari kesalahan-kesalahan coping mechanism saat berhadapan dengan orang lain. Sebuah komentar yang menjadi serangan pedas dan setelah menghitung satu sampai sepuluh, justru hanya meredakan emosi tetapi komentar balasan kita pun tetap bersifat serangan balik yang emosional dan bukan tindakan cerdas. Lagi-lagi kita menyadari kesalahan pada saat kita sudah pergi dari zona itu. Ada kepuasan ketika menyerang balik orang yang (kita anggap) menyakiti ego kita. Tetapi setelahnya, kosong dan jelas tidak menang poin apa pun di dalam transaksi interpersonal itu. 

          Atau pada saat kita membantu teman melewati masa-masa sulit, dan pada saat dia ‘sembuh’ dari kesulitannya justru dia berbalik membangun kekuatan untuk menunjukkan ‘I was never a weak person like I showed you.’ Dan ia pun pergi. Kadang kita hanya bisa mengangguk pasrah dan membiarkan siapa pun orang yang hendak pergi dari kita, pergi dalam keyakinannya. Waktunya untuk mencari aktivitas soliter yang akan menjaga kita dalam koridor kesendirian yang sehat. Waktunya untuk menghayati peran individual tanpa harus kerap bertanya ‘apa yang salah pada diri saya’ atau ‘apa yang salah pada diri orang lain’.

          Yang paling membahayakan dalam tema ‘kepergian’ ini, adalah kronisitas atau durasi yang panjang tak menentu. Tetapi jika dipaksakan, akan serba salah lagi jika kita berusaha terlalu keras untuk menjalankan peran sebagai makhluk sosial. Tidak ada salahnya menikmati peran sebagai makhluk individual. Saya juga mulai memberanikan diri untuk menikmatinya, “Hi, my name is NoRiYu. And I’m a PSP freak…”

 

[30.06.08]

Untuk Nabila dan pencipta SPT (Sega Professional Tennis).